TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang juga terdakwa kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung lewat pengacaranya menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengadili kasusnya.
"Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili karena dasar yang dipermasalahkan merupakan objek sengketa tata usaha negara," kata pengacara Syafruddin, Yusril Ihza Mahendra saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 21 Mei 2018.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Syafruddin telah merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Jaksa mendakwa Syafruddin sudah memperkaya pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim melalui penerbitan SKL untuk bank tersebut.
Baca: Syafruddin Arsyad Temenggung Jalani Sidang Eksepsi Perkara BLBI
Jaksa menyatakan Syafruddin melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Jumlah piutang sebesar Rp 4,8 triliun itu sebelumnya menjadi salah satu aset milik BDNI yang disita untuk membayar pinjaman dari BLBI.
Selain itu, Syafruddin didakwa telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham. Padahal, Sjamsul Nursalim dianggap telah melakukan misinterpretasi atas piutang tersebut. Kesalahan yang dilakukan Sjamsul membuat seolah-olah piutang tersebut sebagai kredit lancar.
Menurut Yusril, proses akuisisi BDNI lewat perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) merupakan kesepakatan perdata. Perjanjian MSAA, kata dia, juga telah mengatur penyelesaian sengketa dalam pelaksanannya akan diselesaikan melalui Kantor Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Termasuk sengketa soal klaim misinterpretasi," kata dia.
Baca: Kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung Persoalkan Audit BPK
Yusril mengatakan bukti lain bahwa MSAA merupakan kesepakatan perdata adalah penyelesaian Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) dan cara pembayaran oleh pemegang saham pengendali dari suatu bank penerima BLBI pada Krisis 1997 adalah berbeda-beda. "Berdasarkan hal tersebut adalah suatu kekeliruan jika penuntut umum mengalihkan ranah hukum perdata menjadi ranah hukum publik," kata dia.
Dalam surat dakwaan jaksa, Bank Indonesia memasukan BDNI ke dalam program penyehatan bank di bawah pengawasan BPPN pada Februari 1998. Enam bulan kemudian, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh tim pemberesan yang ditunjuk BPPN, didampingi Group Head Bank Restrukturisasi. Dengan status BBO, BDNI mendapatkan BLBI hingga Rp 37 triliun pada 29 Januari 1999.
BPPN kemudian mendapati BDNI melakukan pelanggaran atas penggunaan BLBI. BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian MSAA.
Baca: Tunai, Uang Pengganti Rp 87 M Samadikun Hartono Diangkut Troli
BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu sejumlah penasihat finansial membuat neraca penutupan BDNI dan menghitung jumlah kewajiban yang harus dibayar sekitar Rp 47 triliun. Dari total itu, JKPS yang harus dibayarkan Sjamsul sebesar Rp 28,4 triliun, sementara Rp 18,8 triliun sisanya dibayar memakai aset BDNI.
Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 4,8 triliun aset BDNI yang disita berupa piutang petambak plasma kepada PT DCD dan PT WM. Berdasarkan audit Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen) piutang tersebut masuk kategori kredit macet.
Sjamsul dianggap melakukan misinterpretasi atas nilai hutang petambak tersebut. BPPN memintanya menambah jumlah aset yang disita untuk menutupi kekurangan, namun dia menolak.
Pada 22 April 2002 Syafrudin diangkat sebagai Kepala BPPN. Dalam rapat 21 Oktober 2003, antara BPPN dan Itjih S. Nursalim, Syafrudin selaku pimpinan rapat menyimpulkan Sjamsul tidak melakukan misinterpretasi karena memunculkan hutang petambak seolah-olah sebagai hutang lancar. Atas keputusan Syafrudin, BPPN kemudian melakukan restrukturisasi hutang petambak menjadi Rp 3,9 triliun, dengan Rp 2,8 triliun dianggap kredit macet dan sisanya Rp 1,1 triliun sebagai hutang yang bisa ditagih.
Baca: KPK: Kerugian Negara di Kasus BLBI Rp 4,58 Triliun
Dalam Sidang Kabinet Terbatas (ratas) 11 Februari 2004 dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Syafrudin mengusulkan kemungkinan penghapusbukuan terhadap kredit macet senilai Rp 2,8 triliun itu. Rapat tidak mencapai kesimpulan, namun Syafrudin didakwa membuat seolah-olah rapat menyetujui usulan tersebut.
Pada 17 Maret 2004, BPPN dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) menggelar rapat membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun, Syafrudin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya mengenai misinterpretasi yang dilakukan Sjamsul. Syafruddin juga tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misinterpretasi itu.
KKSK akhirnya mengeluarkan keputusan yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban kepada Sjamsul. Lalu pada 12 April 2004, Syafrudin dan Itjih S. Nursalim menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang menyatakan pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam MSAA.
Adapun hak tagih hutang petambak sebanyak Rp 1,1 triliun kemudian terjual kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand sebesar Rp 220 miliar. Dengan memperhitungkan hasil penjualan itulah, jaksa mendakwa Syafruddin Arsyad Temenggung telah merugikan negara sebanyak Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim dalam kasus BLBI ini.