TEMPO.CO, Jakarta - Refleksi 20 tahun reformasi masih menyisakan pekerjaan rumah dalam upaya pemberantasan korupsi. Padahal, pemberantasan korupsi menjadi salah satu tuntutan reformasi karena merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di rezim Orde Baru.
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menuturkan ada dua Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yang muncul terkait semangat pemberantasan korupsi, yaitu Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Ketetapan Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengatakan bahwa pemberantasan korupsi hari ini belum memberantas secara tuntas dan terbuka. "Masih kucing-kucingan," kata Fahri di Jakarta Selatan, Ahad, 20 Mei 2018.
Baca: 20 Tahun Reformasi, Perlindungan untuk Kebebasan Beragama Mundur
Sebagai syarat pemberantasan KKN, reformasi birokrasi termasuk ke dalam amanat reformasi. Namun, kata Fahri, yang berjalan hari ini tindakan korupsi kian hari semakin banyak.
Salah satu pelopor terbentuknya KPK, Hamid Chalid, mengatakan bahwa korupsi di era reformasi lebih masif dan besar dari sisi kerugian negara. Menurut dia, pola korupsi saat ini berbeda dengan zaman Orde Baru yang terstruktur. "Kalau sekarang lebih chaotic (semrawut)," kata Hamid saat ditemui Tempo beberapa waktu lalu.
Selaras dengan pernyataan anggota Dewan Pengawas MTI itu, data Indonesia Corruption Watch menunjukkan jumlah kerugian negara atas kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2017 meningkat. Kerugian negara pada 2017 akibat korupsi tercatat sebesar Rp 6,5 triliun dibandingkan 2016 sebesar Rp 1,5 triliun.
Peneliti Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah mengungkapkan penyebabnya karena ada pengusutan terhadap kasus korupsi pengadaan e-KTP dengan jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 2,3 triliun. Kenaikan juga terjadi dalam aspek jumlah tersangka. Selama satu tahun, jumlah tersangka meningkat dari 1.101 menjadi 1.298 orang. Menurut Wana, banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi berkontribusi terhadap peningkatan jumlah tersangka. Dari sebelumnya hanya 21 tersangka kepala daerah, bertambah menjadi 30 orang pada 2017.
Baca: LBH: Publik Lupa Kejamnya Soeharto
Menurut Hamid, rendahnya hukuman bagi para koruptor juga menjadi penyebab menjamurnya kasus korupsi di era reformasi. Hukuman yang rendah dari pengadilan berakibat pada keberanian orang untuk mengambil resiko melakukan korupsi.
Sejalan dengan itu, analisa ICW sepanjang 2017 juga menunjukkan rata-rata vonis pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi di setiap tingkat pengadilan hanya 2 tahun 2 bulan penjara. Rinciannya, rata-rata pidana penjara di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri adalah 2 tahun 1 bulan, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi 2 tahun 2 bulan, dan di tingkat Mahkamah Agung 5 tahun.
Berdasarkan kategori putusan, sebanyak 1.127 terdakwa atau 81,61 persen divonis ringan (1-4 tahun), 169 terdakwa atau 12,24 persen divonis sedang (4-10 tahun), 4 terdakwa atau 0,29 persen divonis berat (lebih dari 10 tahun).
Selain itu, 25 terdakwa atau 2,53 persen divonis bebas, 45 terdakwa atau 3,26 persen tidak teridentifikasi, dan satu terdakwa atau 0,07 persen diputus N.O (putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan akibat adanya cacat formal dalam dakwaan jaksa).
Baca: 20 Tahun Reformasi, LBH Jakarta: Waspadai Bangkitnya Watak Orba
Data ICW juga menemukan mayoritas putusan masih berada di level Pengadilan Tipikor tingkat pertama pada Pengadilan Negeri, yaitu sebanyak 1.092 terdakwa (79,07 persen); Pengadilan Tipikor tingkat banding pada Pengadilan Tinggi sebanyak, 255 terdakwa (18,46 persen); dan Mahkamah Agung sebanyak 34 terdakwa (2,46 persen).
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan political will negara untuk memberantas korupsi masih kurang. Sehingga, upaya pemberantasan korupsi belum memiliki dukungan yang kuat. "Kalau political will kuat, biasanya pemberantasan korupsi bisa berjalan cepat," ujarnya.
Menurut Zainal, ada cara yang bisa dilakukan untuk menambal kekurangan political will negara. KPK, kata dia, bisa memperbaikinya dengan memprioritaskan pemberantasan korupsi. "Karena mustahil di tengah geliat korupsi yang marak begini mustahil untuk memberantas semua hal," kata dia.
Zainal melihat postur kasus yang ditangani KPK masih sporadis dan tak tertata ke dalam sektor. Ia pun menyarankan praktek korupsi di kalangan hakim, jaksa, dan polisi menjadi prioritas KPK dalam memberantas korupsi. Sebab, jika KPK berhasil memperbaiki sektor penegakan hukum akan menjadikan hukum di Indonesia berkualitas. "Kalau sekarang kita bayangkan capek-capek nangkapin itu (koruptor), masuk ke dalam proses yang tidak berkualitas ya sama saja hasilnya tidak luar biasa," kata dia.
TAUFIQ SIDDIQ | LANI DIANA
Baca: 20 Tahun Reformasi: Soeharto yang Bangkit Lagi di Ingatan Publik