TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang peringatan 20 tahun reformasi, kabar duka datang dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Sekelompok massa merusak dan mengusir Jamaah Ahmadiyah yang tinggal di Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur.
Muslihah, 35 tahun menceritakan, pada Sabtu siang 19 Mei 2018, ia melihat rumah Amaq Us alias Ismail, tetangganya sudah porak poranda. Seluruh barang yang ada di rumah yang terletak di pinggir jalan desa itu sudah porak poranda.
Memang tak ada barang yang dijarah dari rumah tersebut. "Tapi ya rusak semua," kata Muslihah. Rumah Amaq Us adalah satu dari delapan rumah Jamaah Ahmadiyah di Desa Gereneng yang diamuk massa.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi: Hari-hari Menjelang Kejatuhan Soeharto
Akibat serangan brutal massa itu, sebanyak 26 jiwa dari tujuh kepala keluarga kini mengungsi di Mapolres Lombok Timur. Sedangkan satu kepala keluarga mengungsi ke kerabat mereka.
Reformasi yang digaungkan mahasiswa pada 20 tahun lalu seharusnya jadi jalan agar persoalan toleransi dan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda tak terjadi di tengah masyarakat.
Menurut Peneliti Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia soal kebebasan beragama sejak reformasi justru tak mengalami kemajuan. "Justru mundur," ujarnya di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Ahad, 20 Mei 2018. Sejumlah warga negara belum dapat merasakan kebebasan dalam menjalankan kepercayaan yang mereka anut seperti diamanatkan konstitusi.
Musdah menemukan sejumlah peraturan daerah yang mengatur secara rinci soal ibadah. Setidaknya ada 12 peraturan daerah di sejumlah wilayah yang mengatur jam salat pegawai neger sipil (PNS).
Di instansi pendidikan, kemampuan membaca kitab suci tertentu dijadikan syarat untuk mendaftar. ICRP menemukan sejumlah PAUD, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi yang menjadikan kompentesi membaca Al Quran sebagai syarat untuk diterima belajar.
Sementara di beberapa tempat, kemampuan membaca kitab suci itu jadi syarat untuk menduduki jabatan tertentu. "Padahal tidak ada hubungannya dengan kinerja orang tersebut," kata Musdah.
ICRP juga menemukan kasus penyisiran aliran yang dianggap sesat di beberapa tempat. Kegiatan itu dilakukan oleh kelompok yang mengaku sebagai pembela agama. Dampaknya, terjadi konflik di beberapa daerah.
Tak hanya itu, pemerintah hingga kini masih membatasi pelayanan terhadap enam agama saja. Indonesia masih belum memberi ruang bagi agama dan kepercayaan lain, bahkan untuk penghayat.
Musdah mengatakan penghayat masih kesulitan mendapat kebebasan berkeyakinan. Dia mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi yang menerima kehadiran penghayat. Pemerintah juga telah diminta membubuhkan kolom kepercayaan di kartu identitas masyarakat Indonesia. Namun aplikasinya dinilai masih bermasalah lantaran belum ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang dibuat.
Kepala Bidang Minoritas dan Kelompok Rentan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Pratiwi Febry, mengatakan stigma terhadap penghayat juga membuat situasi sulit bagi mereka. “Mereka dianggap tidak memiliki Tuhan dan disamakan dengan komunis,” ujarnya. Namun dia menekankan keputusan MK perlu diapresiasi karena mampu menjaga marwah konstitusi.
Pratiwi sepakat dengan ICRP bahwa perlindungan terhadap minortas agama tak menunjukkan perkembangan berarti setelah 20 tahun reformasi. "Bukannya membaik, malah memburuk situasinya," kata dia.
Perlindungan agama dan keyakinan lebih buruk karena kebijakan yang lebih represif. Pratiwi mencontohkan penerbitan peraturan perundang-undangan tentang organisasi masyarakat. Beleid itu memperberat hukuman pidana bagi pelanggar.
Baca juga: Sekelompok Orang Serang dan Usir Penganut Ahmadiyah di NTB
Selain represif, kondisinya diperparah oleh rendahnya penegakan hukum. Salah satunya seperti yang dihadapi jemaah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi. Jamaat kedua gereja itu dilarang beribadah oleh warga sekitar. Tempat ibadah mereka disegel.
Kasus tersebut sudah sampai meja hijau lantaran para jemaat menggugat. Mahkamah Agung menyatakan mereka menang dan memerintahkan pemerintah daerah mengembalikan hak para jemaat. "Tapi sampai hari ini putusan MA tidak dilaksanakan," ujar Pratiwi.
ICRP dan LBH meyakini reformasi dalam hal kebebasan beragama dan memeluk keyakinan masih menghadapi banyak tantangan pada 20 tahun reformasi. Musdah menilai kuncinya terletak pada paradigma negara terhadap makna kebebasan tersebut. Pemerintah dinilai perlu mengatur paradigma itu.
Pratiwi mengatakan pemerintah juga perlu taat dengan hukum untuk memastikan hak kebebasan beragama dan memeluk keyakinan terpenuhi. "Salah satu pilar negara demokrasi adalah supremasi hukum. Tanpa itu, negara tidak bisa maju ke mana-mana," ujarnya.
Pratiwi mengakui pemerintah saat ini tak bisa menyelesaikan beban reformasi yang selama 20 tahun bahkan belum tuntas. Namun dia menilai setidaknya ada satu hal yang bisa dilakukan Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin.
Jokowi diminta menyelesaikan janji politiknya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu. Pratiwi mengatakan, pelanggaran HAM merupakan luka bangsa yang jika dibiarkan menganga akan menghambat kemajuan bangsa. Negara dinilai tak akan mampu mencapai agenda reformasi, termasuk untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.