TEMPO.CO, Yogyakarta - Organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiyah, menyesalkan keterlibatan perempuan dalam peledakan bom di Surabaya pada 13 Mei 2018. Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Siti Noordjannah Djihantini menduga kuat perempuan yang menjadi pelaku teror itu menempatkan diri sebagai mahluk kelas dua dibanding laki-laki sehingga hanya bisa menurut yang dikatakan suaminya.
“Perempuan seharusnya kritis, sehingga bisa menjadi benteng nilai baik dan buruk bagi keluarganya,” kata Siti di Kantor PP Aisyiyah Yogyakarta Selasa 15 Mei 2018.
Baca: Tri Rismaharini: Cita-cita Anak Pelaku Bom di Surabaya Tak Lumrah ...
Siti menuturkan aksi teror Surabaya yang menyasar para umat yang sedang hendak beribadah di gereja jelas menyalahi ajaran Islam dan juga agama manapun. Sebab, Islam pun menyakini jika setiap manusia merupakan mahluk Allah yang diciptakan dalam keadaan mulia atau fi ahsani taqwim dan hidup dalam berbangsa dan bergolongan agar saling mengenal atau lita’rafu.
Teror bom di Surabaya, kata Siti, tidak hanya bertentangan dengan agama, tapi sudah merendahkan ajaran agama yang menjunjung tinggi jiwa kehidupan manusia. "Keterlibatan ibu dan anak dalam aksi terorisme ini jelas fenomena yang sangat memilukan dan sangat zalim."
Baca: Bom di Surabaya, Tri Rismaharini Izin Menteri Perpanjang Libur ...
Seharusnya, kata Siti, ibu yang paling berperan menjauhkan anak-anak itu dari ajaran teror, agar anak itu menjadi agen perdamaian. Menjauhkan anak dari perbuatan teror dan kekerasan, bisa dilakukan melalui hal paling sederhana dalam keluarga.
Misalnya bagi keluarga muslim, ujar Siti, anak seharusnya didekatkan pada nilai nilai keagamaan yang assunah atau sesuai sunnah. "Dan maqbullah atau sesuai ajaran yang diterima Allah." Sehingga, terhindar dari praktik seperti peledakan bom di Surabaya yang melibatkan ibu dan anak-anak.