TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT 2010-2014 Ansyaad Mbai menilai anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tak mengetahui makna dan semangat merevisi Undang-Undang Terorisme. "Saya pastikan dari dalam Pansus itu ada beberapa orang yang tidak paham terorisme," kata Ansyaad di Hotel Atlet, Jakarta, Senin, 14 Mei 2018.
Ansyaad mengungkapkan latar belakang pembuatan Undang-Undang Nompr 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Kami membuat undang-undang itu bukan kebetulan. Setelah beberapa tahun penanganan terorisme, ini suara anak-anak (polisi) di lapangan menangani terorisme itu," ujarnya.
Baca: Moeldoko: TNI Bisa Terjunkan Gultor Bantu Polisi Atasi Terorisme
Ansyaad menjelaskan, pada 2003 ia masih menjabat sebagai Ketua Desk Koordinasi Penanggulangan Teror (DKPT) Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan. Banyak polisi yang menangani teroris mengadu kepadanya karena merasa terbelenggu.
"Pak, kami ibarat nonton di akuarium. Kita tahu ikan mana yang ganas tapi kita enggak bisa pegang. Kita tidak punya kewenangan. Kemudian, kita sudah pegang pun kami dibelenggu," kata Ansyaad menirukan keluhan anak buahnya.
Salah satu hal yang membuat para polisi itu terbelenggu, kata Ansyaad, ketika memiliki kewenangan terkait masa penangkapan terduga teroris selama tujuh hari. Hal itu sempat dipersoalkan oleh aktivis hak asasi manusia karena dianggap menculik. Padahal, kata Ansyaad, polisi tidak memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada siapapun soal penangkapan itu.
Simak: Jokowi Tegaskan Pemerintah Akan Basmi Terorisme sampai ke Akar
Menurut Ansyaad, masa penangkapan selama tujuh hari justru dirasa tidak cukup. Contohnya ketika terjadi bom Bali 1 sampai bom JW Marriot pada 2003, tak satu pun terduga teroris yang tertangkap mau membuka suara. "Bayangkan itu. Seminggu belum tentu dia mau bicara. Bagaimana kita mau proses. Dari mana kita tahu temannya, jaringannya, kalau dia enggak buka mulut, apa kita setrum? Enggak mungkin," kata dia.
Selain masa penangkapan, Ansyaad mengatakan bahwa para aparat juga terbelenggu soal masa penahanan. Ia melihat bahwa hakim kerap memberikan hukuman minimal kepada pelaku terorisme. Padahal, masa penahanan terduga teroris di Perancis saja bisa sampai empat tahun tanpa proses pengadilan.
Lihat: Buntut Bom Surabaya, Wiranto Minta RUU Terorisme Segera Rampung
Akibat dari masa penahanan yang ringan, kata Ansyaad, bisa dilihat dari apa yang terjadi pada Bahrun Naim. Ia hanya divonis selama 2 tahun penjara. Setelah bebas, Bahrun Naim menjadi jagoan di Suriah. Bahkan, Bahrun Naim juga mengendalikan serangan bom Thamrin. "Itu artinya apa? Hukumannya terlalu ringan. Kalau dia ada di dalam kan enggak akan ke Suriah," katanya.
Ansyaad juga menyayangkan aturan di Indonesia mengenai sisi pembuktian yang harus memiliki minimal dua alat bukti. Aturan itu, dia menuturkan, sempat ditertawai oleh hakim di Perancis karena dianggap sistem pembuktian zaman Napoleon Bonaparte, jenderal dan kaisar asal Perancis yang terkenal. Menurut dia, sistem pembuktian di negara Eropa umumnya menggunakan satu alat bukti persesuaian untuk meyakinkan hakim.