TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim menolak gugatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencabut keputusan membubarkan organisasi pro-khilafah itu, dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Senin, 7 Mei 2018.
"Dalam pokok perkara, menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Tri Cahya Indra Permana dalam persidangan.
Baca: Massa HTI Salat Zuhur saat Putusan Gugatan di PTUN akan Dibacakan
Dalam pertimbangannya, hakim Roni Erry Saputro menyebutkan HTI telah melakukan kegiatan yang mengembangkan dan menyebarkan paham sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Buktinya, kata dia, adalah video kegiatan muktamar khilafah di Gelora Bung Karno pada 2013 lalu. Belum lagi, bukti pembacaan ikrar mahasiswa Institut Pertanian Bogor untuk memperjuangan khilafah di Indonesia yang diadakan Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus pada 25-27 Maret 2016.
Dengan demikian, hal tersebut membuktikan bahwa gagasan khilafah itu sudah dituangkan dalam bentuk aksi dan bukan hanya konsep pemikiran. Sehingga, hakim menyebut tindakan HTI itu sudah bertentangan dengan Pancasila, khususnya pada sila ketiga tentang Persatuan Indonesia.
Baca: PTUN Bacakan Putusan, Ratusan Massa HTI Padati Jalan A
Sistem Khilafah Islamiyah dinilai akan mengesampingkan berbagai keragaman suku dan agama di Indonesia. "Jika sistem Khilafah akan diterapkan di Indonesia, bukan tidak mungkin saudara kita yang berasal dari agama selain Islam akan keluar dari NKRI," kata Roni.
Belum lagi, Roni juga menyebut HTI semestinya merupakan organisasi politik, selayaknya Hizbut Tahrir di berbagai negara lainnya. Sehingga lahirnya HTI sebagai badan hukum organisasi masyarakat tidak tepat.
Untuk memperjuangkan gagasannya, Roni mengatakan HTI seyogyanya menempuh jalur konstitusional yaitu dengan mengikuti pemilu. "Bila ada wakil yang terpilih di parlemen, penggugat dapat menyampaikan konsepnya agar diterima di Indonesia."
Selanjutnya, majelis hakim menyatakan bahwa tidak terdapat cacat yuridis baik dari segi wewenang Kemenkumham dan prosedur penerbitan Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan SK Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum HTI.
Namun, majelis hakim mengatakan Kementerian yang dipimpin Yasonna Laoly itu perlu memperbaiki SK terkait pembubaran HTI tersebut lantaran terdalat kekurangan konsideran dalam isinya. "Akan lebih baik jika SK tersebut diperbaiki, khususnya memuat pertimbangan sosiologis, yuridis, dan filosofis," kata Roni.
Meski demikian, Hakim Tri mengatakan, HTI masih dapat melakukan upaya hukum lanjutan jika tak sependapat dengan putusan PTUN.
Sebelumnya, HTI mengajukan gugatan agar Kemenkumham mencabut Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU -30.AHA.01.08.2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Perkumpulan HTI. "Bagi kami, yang adil adalah hakim memenuhi gugatan HTI karena keputusan pemerintah mencabut status BHP HTI tanpa dasar," kata Ismail.
Pencabutan badan hukum HTI dilakukan pada 10 Juli 2017, dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Organisasi Massa pada 19 Juli 2017. Tak terima atas keputusan itu, HTI melayangkan gugatan ke PTUN. Sidang perdana kasus itu digelar pada 23 November 2017.