TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki 20 tahun reformasi, kasus hilangnya aktivis 1997-1998 hingga kini tak jelas rimbanya. Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras, Yati Andriyani, mengatakan kasus hilangnya aktivis ini masih sengaja ditutupi.
"Kehendak politik yang lemah dari pemerintah, lemahnya penegakan hukum, dan impunitas yang dilestarikan tidak saja membuat penegakan hukum untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti kasus penculikan dan penghilangan paksa mandek, tapi juga telah membuat para pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban bisa kembali membangun kekuatan politik," ujarnya melalui pesan WhatsApp, Rabu, 2 Mei 2018.
Baca juga: 18 Tahun Reformasi, ICJR: Kebebasan Ekspresi Masih Terancam
Menurut Yati, mekanisme vetting atau mempertimbangkan rekam jejak para petugas untuk memfilter para pihak yang diduga terkait dengan pelanggaran HAM berat tidak berlaku. Hal ini berdampak pada sikap permisif negara dan masyarakat atas masalah ini.
Yati berpendapat, sampai menjelang 20 tahun reformasi, kita mengalami kegagalan penegakan hukum dan HAM atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus penculikan. "Ketiadaan penghukuman, ketiadaan keadilan, ketiadaan pengungkapan kebenaran atas peristiwa tersebut menunjukkan keadilan transisi di negara ini gagal dan keluar jalur," tuturnya.
Kasus penculikan itu terjadi menjelang transisi kepemimpinan Orde Baru. Belasan aktivis dinyatakan hilang. Ada pula yang diculik dan disiksa sebelum akhirnya dilepaskan. Mantan aktivis 1998 yang juga korban penculikan, Raharja Waluyo Jati, menyatakan dia dan beberapa orang disekap di ruang berhawa pengap. "Seperti ruang bawah tanah," tuturnya pada 2014.
Baca juga: KPK: Beregenerasi, Koruptor Muda Produk Era Reformasi
Jati mengaku selalu mendapat siksaan saat disekap. "Jika tak salah, tujuh hari saya disekap," kata Jati. Sampai sekarang, 13 orang masih belum kembali, termasuk Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan Suyat.
Presiden Joko Widodo sewaktu mencalonkan diri menjadi presiden pada 2014 menyatakan komitmennya untuk menangani kasus penculikan aktivis pada 1998. Menurut Jokowi, tragedi yang terjadi ketika itu perlu diusut agar dapat memberi rasa keadilan bagi para korban. "Kasus itu harus diselesaikan. Itu komitmen saya," ujarnya, Jumat, 4 Juli 2014.