TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi mengatakan bahwa jargon Revolusi Mental bukan sesuatu yang harus disampaikan dengan berteriak seperti masa lalu atau harus selalu diiklankan. "Saya kira bukan itu. Saya kita contoh lebih baik daripada kita berteriak. Memberikan contoh lebih baik daripada kita berteriak," kata Jokowi dalam Temu Budayawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, 6 April 2018.
Jokowi mengatakan, dirinya akan berupaya memberikan contoh kerja, integritas, dan nilai etos kerja yang baik. Sebab, kata dia, pemerintah akan memasuki tahapan investasi sumber daya manusia, dengan kebudayaan sebagai fondasi atau dasar yang kuat.
Baca: Tiga Survei Berbeda, Elektabilitas Jokowi di Bawah 50 Persen
Nilai-nilai yang kita miliki akan menentukan bangsa bisa berkompetisi dan bersaing dengan negara lain atau tidak, baik yang berkaitan dengan nilai budaya, karakter yang kita miliki, budi pekerti, etos kerja, produktifitas, integritas," ujarnya.
Dalam Temu Budayawan itu, salah satu budayawan bernama Mohamad Sobary menilai bahwa jargon Revolusi Mental yang diusung Jokowi bisa menjadi jawaban atas tuntutan masyarakat, jika dijalankan di lapisan bawah. Menurut dia, jargon tersebut tidak akan berdampak jika hanya dikerjakan pada tataran lapisan atas.
BACA: #2019GantiPresiden, Demokrat: Tak Mungkin Semua Dukung Jokowi
"Rakyat menuntut haknya, rakyat ingin menjadi raja dan pemerintah menjadikan mereka raja. Dilayani hak-hak konstitusionalnya, dipenuhi, tidak boleh diutang pemerintah. Bayar bayar bayar rakyat dibikin makmur," ujarnya.
Sekitar puluhan budayawan ternama turut diundang dalam acara itu, seperti Butet Kertaradjasa, Mohamad Sobary, Putu Wijaya, Jim Supangkat, Jean Couteau, Olivia Zalianty, dan Radhar Panca Dahana. Dalam pertemuan itu, Jokowi meminta berbagai saran dan masukan dari budayawan untuk pembangunan.
FRISKI RIANA