TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengungkapkan ada sejumlah alasan terpidana hukuman mati narkoba tak kunjung dieksekusi.
"Itu urusannya Jaksa Agung. Banyak variabelnya," kata Yasonna di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Jakarta Timur pada Kamis, 29 Maret 2018.
Baca: Pengendali Narkoba Dalam Penjara Jadi Target Eksekusi Mati
Salah satu persoalannya, kata Yasonna, karena masih ada terpidana mati yang mengajukan upaya hukum. Ia mengatakan eksekusi mati merupakan hukuman berat sehingga keputusan itu harus kuat secara dasar hukum.
"Jadi kan hak mereka sampai PK (peninjauan kembali) dan grasi. Kita hargai karena itu hukuman paling berat, harus secara hukum kuat dasarnya mengeksekusi," kata Yasonna.
Baca: Tuntut Terdakwa Narkoba Hukuman Mati, Kejari Jakbar: Biar Ada Efek Jera
Lamanya eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba sempat dikeluhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Menurut Sri, masih ada terpidana mati yang menjalankan bisnis narkoba sambil memanfaatkan sisa waktunya di lapas.
Dalam rapat di DPR, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan bahwa eksekusi mati para terpidana menemui kendala dalam aspek yuridis. Salah satunya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 pada Juni 2016 yang menyatakan batas waktu pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Sebelumnya, pengajuan grasi oleh terpidana paling lama diajukan dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 7 ayat (2) UU Grasi yang kemudian digugat oleh Suud Rusli, bekas anggota marinir yang menjadi terpidana hukuman mati kasus pembunuhan terhadap Direktur Asaba.