TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, mengaku terhenyak ketika mendengar pernyataan rohaniwan Romo Karl Edmund Prier S.J. yang turut menjadi korban penyerangan Gereja St Lidwina, Sleman, Yogyakarta, pada Ahad, 11 Februari 2018.
Romo asal Jerman itu mendapat dua luka bacok di kepala dan leher dalam penyerangan yang dilakukan ketika ia sedang memimpin ibadah misa pagi itu. Ia pun dilarikan ke Rumah Sakit Panti Rapih.
Namun, pasca-serangan itu, Romo Prier yang kala itu masih terbaring lemah pascaoperasi justru tak menaruh dendam kepada penyerangnya dan malah menyalahkan diri sendiri.
Baca juga: Kesaksian Wanita Berjilbab Beres-beres Gereja St Lidwina Bedog
“Saya yang salah. Saya tidak lari saat (mau diserang) itu,” ujar Romo Prier saat dibesuk Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Uskup Agung Semarang Robertus Rubyatmoko, seperti diunggah akun resmi Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi DIY.
“Bagi saya, itu pernyataan luar biasa dari Romo Prier,” ujar Buya—panggilan Ahmad Syafii—ketika menggelar diskusi bersama Gerakan Masyarakat Yogya Melawan Intoleransi di Gedung Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, Sabtu, 17 Februari 2018.
Buya mengaku kagum dengan sikap pengampunan tanpa pandang bulu yang ditunjukkan Romo Prier kepada penyerangnya itu. “Dia sadar dia pamong dan dia tetap melayani umatnya (meski nyawa terancam),” tuturnya.
Buya menilai, ketika seseorang menyerap ajaran agama dengan baik, yang muncul adalah sikap berani dan pemaaf. Namun, ketika ajaran agama itu tak dimaknai dengan benar, yang muncul adalah sikap lemah, kebrutalan, kekerasan, dan kekejaman kepada lainnya.
Buya menuturkan, dalam Islam pun mengenal ajaran suci yang disebut rahmatan lil alamin. “Bahwa kehadiran Islam, rahmat Islam, harus dirasakan semua orang, termasuk orang tak beriman,” kata Buya.
Baca juga: Gereja St Lidwina Diserang, Sultan HB X Sedih dan Mohon Maaf
Dalam kasus penyerangan Gereja St Lidwina, Buya mengaku bersepakat dengan analisis Oliver Roy, ahli di bidang terorisme dan jihad dari Prancis yang mengenalkan teori terorisme holy ignorance atau kebahlulan yang dianggap suci.
Wujud kebahlulan itu, ujar Buya, ketika agama dilepaskan dari pilar-pilar keadaban, kebudayaan, dan kemanusiaan tapi dianggap suci.
“Dan (kebahlulan yang dianggap suci) ini bahaya sekali. Orang-orang jenis ini memandang enteng nyawa manusia,” ucap Buya.