TEMPO.CO, Jakarta - Pengesahan perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dalam rapat paripurna pada Senin, 12 Februari 2018, bakal berbuntut panjang. Sejumlah kalangan pun bersiap-siap menggugat aturan yang dinilai menabrak konstitusi dengan memperkuat kewenangan DPR ini.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menuturkan ia dan teman-teman koalisi masyarakat sipil bakal berkumpul pada hari ini untuk menyiapkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. “Revisi undang-undang ini hanya memasukkan kepentingan DPR,” kata Lucius ketika dihubungi Tempo, Senin, 12 Februari 2018.
Baca: Walk Out di Paripurna, NasDem: RUU MD3 Terlalu Pragmatis
Hal senada diutarakan Direktur Pelaksana The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Abraham Todo Napitupulu. Dia menilai DPR telah melanggar putusan Mahkamah Konsitusi yang telah menghapus wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan dalam urusan anggota Dewan jika dipanggil atau diperiksa penyidik. “Undang-undang baru ini akan menjadi prioritas kami untuk digugat konstitusionalitasnya. Apalagi ada pasal-pasal baru yang seolah DPR hendak menjadi penegak hukum,” kata Erasmus.
Dalam putusan perkara uji materi Nomor 76/PUU-XII/2014, yang dimohonkan oleh ICJR, Mahkamah Konstitusi mengubah syarat persetujuan MKD dalam rencana penyidikan menjadi persetujuan presiden. MKD sebagai alat kelengkapan DPR dinilai tidak tepat mengurusi peradilan pidana.
Namun revisi UU MD3 yang disahkan kemarin kembali mengubah Pasal 245 dan lagi-lagi mengatur peran MKD. Pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR dalam penyidikan pidana dinyatakan harus mendapat persetujuan presiden setelah mendapat pertimbangan dari MKD.
Baca: RUU MD3 Disahkan, Dua Fraksi DPR Walk Out
Pasal 122 huruf (k) dalam beleid baru ini juga dinilai bermasalah lantaran menambah kewenangan MKD untuk mengambil langkah hukum terhadap perorangan, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, tak mau ketinggalan dalam rencana gugatan UU MD3. Walau demikian, kata dia, Pusako mengkhawatirkan kredibilitas lembaga penjaga marwah konstitusi yang belakangan dianggap merosot setelah Ketua MK Arief Hidayat tersandung kasus etik akibat pertemuan dengan Komisi Hukum DPR. “Kami sedang mempertimbangkan bagaimana supaya uji materi ini tak sia-sia,” kata Feri.
Rapat paripurna pengesahan UU MD3, Senin, 12 Februari 2018, juga diwarnai aksi walk out anggota Fraksi Partai NasDem dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Mereka menuding pemimpin Badan Legislasi DPR tak transparan dalam pembahasan revisi.
Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Johnny Gerard Plate, menuturkan fraksinya tidak mengetahui masuknya pasal-pasal baru yang kontroversial ini karena sejak awal pembahasan berfokus membicarakan rencana penambahan satu kursi pemimpin MPR dan DPR untuk PDI Perjuangan. “Kami pun terkejut, karena baru tahu saat pengambilan keputusan pada tingkat panitia kerja pada Rabu pekan lalu,” kata Johnny.
Sekretaris Fraksi PPP Arsul Sani menilai banyak pasal karet di UU MD3 yang baru. “Kami juga menyoroti penambahan kursi MPR yang ditunjuk dan tanpa melibatkan DPD,” ujar dia.
Wakil Ketua Badan Legislasi dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menampik dugaan bahwa pembahasan tak transparan. “Pasal ini sudah masuk lama, tapi pembahasannya alot saja,” ujar dia. Firman mempersilakan bagi yang tak puas atas pengesahan UU MD3 untuk segera melakukan uji materi di MK.
AGOENG