TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari mengatakan Mahkamah Konstitusi atau MK yang sedang diterpa persoalan etika sudah bermasalah sejak seleksi. Menurutnya proses seleksi hakim MK lemah. "Seleksi hakim MK masih memiliki potensi masalah karena politik," ujar Feri dalam diskusi politik di Jakarta Selatan, Rabu, 7 Februari 2018.
Polemik bermula saat Ketua MK Arief Hidayat telah dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Pada 2016, Arief pernah mendapatkan sanksi berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK karena dianggap membuat surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk "membina" atau memberikan posisi kepada seorang kerabatnya.
Baca: Kata Peneliti Muda MK Setelah Dibebastugaskan Sementara
Pelanggaran kedua, Arief terbukti melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Arief diduga melobi Dewan agar bisa maju sebagai calon tunggal hakim konstitusi.
Menurut Feri, proses seleksi hakim MK masih membuka celah transaksional politik. Timbulnya celah itu berpotensi memunculkan masalah hingga akhirnya ada hakim yang melanggar etika. Ruang transaksional itu berdampak pula pada sikap MK yang tidak tegas dalam memutuskan pelanggaran etik Arief.
Feri juga melihat tidak adanya pengawasan terhadap hakim hingga Ketua MK yang terbukti tidak berintegritas. Sebab, kendati telah terbukti melakukan perbuatan tercela, mereka masih dipertahankan.
Simak: Arief Hidayat Diminta Mundur, Pengamat: Menjaga Marwah MK
Feri menilai dari awal MK sudah beritikad untuk tidak diawasi pasca-menghapus Komisi Yudisial sebagai konstitusi pengawas. "Putusan MK Nomor 005 dan 0049 jelas ada niat dari MK untuk tidak ada yang mengawasinya," ujarnya.
Padahal, kata Feri, pemohon hanya meminta Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang dihapus sebagai pengawas MK. Namun, MK memasukan juga Komisi Yudisial. "Dari ini saja bisa dilihat kalau hakim MK egois," kata Feri.