TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Penanganan Permasalahan Hukum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Setya Budi Arijanta menyatakan, pemerintah sepakat melanjutkan proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP meski banyak pelanggaran. Keputusan itu kesimpulan dari rapat bersama antara Setya Budi, mantan Kepala LKPP Agus Rahardjo, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan mantan Staf Wakil Presiden Sofyan Djalil.
"Kalau yang saya tangkap ini (proyek e-KTP) tidak boleh berhenti karena untuk pemilu katanya," kata Budi saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat pada Kamis, 1 Februari 2018.
Budi menceritakan, ada perbedaan pendapat antara LKPP dengan Kementerian Dalam Negeri. Sebab, hanya LKPP yang menyatakan bahwa proyek e-KTP bermasalah.
Baca: Setya Novanto Rahasiakan Nama-Nama Penerima Dana E-KTP
Karena itu, menurut Budi, Gamawan melapor kepada Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY agar menyelesaikan konflik dalam dua instansi tersebut. SBY pun menunjuk Wakil Presiden Boediono untuk menuntaskannya.
Boediono meminta Sofyan Djalil selaku staf wapres dan deputi wapres untuk menyelesaikannya. Budi pun dipanggil mengikuti sidang di gedung Wapres, Jakarta. Sidang itu juga dihadiri oleh Agus Rahardjo selaku Ketua LKPP saat itu.
Setelah Budi menunjukkan bukti berupa dokumen-dokumen, LKPP dinyatakan tak bersalah. Artinya, harus ada perbaikan lelang e-KTP sebelum dilakukan penandatanganan kontrak.
Baca: Sidang Lanjutan Setya Novanto, Agenda Pemeriksaan Saksi
Budi yang ditunjuk sebagai ketua pendamping lelang e-KTP mengaku telah mengirimkan lima surat rekomendasi perbaikan kepada Kemendagri dan panitia lelang. Budi mewakili LKPP menyarankan agar proyek e-KTP dibatalkan. "Katanya kita (LKPP) hambat program e-KTP. Kita dipanggil di sidang," ujar Budi.
Setelah sidang, Agus Rahardjo dan Budi kembali dipanggil untuk menghadiri pertemuan di gedung Wapres pada 2011. Dalam pertemuan itu, ada Sofyan Djalil dan perwakilan Kemendagri. Hasil pertemuan itu adalah proyek e-KTP tetap dilanjutkan. "Diputuskan jangan ngomong ke media agar tidak gaduh," kata dia.
Dalam proyek e-KTP, Budi memaparkan ada banyak pelanggaran. Mulai dari pemaketan, penyusunan dokumen tidak kualitatif dan menggunakan kontrak lump sum. Padahal, seharusnya proyek e-KTP menggunakan kontrak harga satuan. Selain itu, menurut Budi, tidak ada perusahaan pemenang lelang yang memenuhi syarat teknis.
Baca: Sidang Setya Novanto, Saksi Ungkap Alasan LKPP Mundur dari E-KTP
Hal itu bertentangan dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Karenanya, Budi menilai, tak mungkin proyek e-KTP terwujud. Pekerjaannya terlalu banyak dengan waktu yang singkat.
Tak hanya itu, Budi menyebut ada penyimpangan dalam proses lelang. Kemendagri tak melewati mekanisme lelang dalam mencari perusahaan pemenang proyek.
Mekanisme itu dimulai dari download dokumen pengadaan, pengumuman pasca kualifikasi, pemberian penjelasan, upload dokumen penawaran, evaluasi penawaran, evaluasi dokumen kualifikasi, pembukaan dokumen penawaran, upload berita acara hasil pelelangan, pengumuman pemenang, penetapan pemenang, masa sanggah hasil lelang, penandatanganan kontrak, surat penunjuk penyedia barang/jasa.
Budi mengatakan, Kemendagri baru memenuhi tahap upload dokumen penawaran tapi sudah ada penandatangan kontrak perusahaan pemegang proyek e-KTP. Namun, menurut dia, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, membantah tak penuhi prosedur. Gamawan malah menyalahkan sistem lelang online LKPP.