TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail menyatakan kliennya tidak ingin mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum atau justice collaborator. Ia mengatakan kliennya tidak ingin menjadi penyebar fitnah.
"Kami belum pastikan mau mengajukan JC atau tidak. Kami tidak mau karena JC itu menyebut nama orang. Kami tidak mau jadi sumber fitnah," kata Maqdir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis, 4 Januari 2018.
Baca: KPK Buka Ruang Setya Novanto Jadi Justice Collaborator
Dalam putusan sela yang digelar kemarin, majelis hakim menolak eksepsi atau keberatan Setya Novanto dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Dengan ini, persidangan pun akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi pada Kamis, 11 Januari 2018.
Maqdir menyatakan pihaknya tidak ingin menjadikan Setya Novanto sebagai "bulan-bulanan tukang fitnah" seperti sidang-sidang sebelumnya. "Saya kira itu yang harus dilihat secara baik. Untuk menjadi JC itu kita kan tidak mau menimbulkan fitnah, harus ada fakta, harus ada bukti, harus ada saksi," kata dia.
Ia pun mengatakan bahwa Setya Novanto tidak bisa disebut pelaku utama. "Karena kan beliau ini DPR, itu mulai ikut di tengah, bahkan bagian akhir," ujarnya. Maqdir menilai pelaku utama perkara korupsi ini adalah orang-orang Kementerian Dalam Negeri.
Baca: Eksepsi Ditolak, Sidang Setya Novanto Dilanjutkan Kamis Depan
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah mengatakan kesempatan menjadi justice collabolator terbuka bagi semua pihak. "Jika terdakwa memiliki itikad baik menjadi JC silakan ajukan ke KPK. Tentu dipertimbangkan dan dipelajari dulu. Seorang JC haruslah mengakui perbuatannya, dan kooperatif membuka peran-peran pihak lain secara lebih luas dan ingat, JC tidak bisa diberikan kepada pelaku utama," kata Febri.
Dalam perkara ini, Setya Novanto diduga ikut mengatur pengadaan e-KTP di Kemendagri. Ia pun didakwa menerima US$ 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille senilai US$ 135 ribu dari proyek KTP-E. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp 2,3 triliun.