TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman menemukan dugaan adanya maladministrasi penerbitan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) setelah melakukan investigasi di enam daerah.
Enam daerah yang diinvestigasi Ombudsman adalah Polda Metro Jaya (Polres Jakarta Selatan dan Polres Jakarta Timur), Polda Bengkulu (Polres Bengkulu), Polda Sumatera Selatan (Polres Banyuasin), Polda Papua (Polres Kota Jayapura), Polda Jawa Barat (Polrestabes Bandung), dan Polda Sulawesi Selatan (Polrestabes Makassar, Polres Gowa, dan beberapa polsek di wilayah keduanya).
"Baru saja kami selesai melaksanakan rapat dengan agenda menyampaikan temuan Ombudsman kepada kami, di mana hal ini merupakan masukan bagi kami," ujar Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno di gedung Ombudsman, Jakarta Selatan, Senin, 27 November 2017.
Baca juga: Soal Kemudahan Berusaha di RI, Ombudsman: Ada 14 Kendala
Dari lima investigasi yang dilakukan Ombudsman, hal mendasar yang ditemukan adalah belum ada standar pelayanan publik sehingga menimbulkan ketidakpahaman di masyarakat. Ketidakpahaman itu antara lain perbedaan biaya serta penetapan jangka waktu SKCK sampai ke tangan pemohon.
Putut berujar, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepolisian menetapkan harga mengurus SKCK Rp 30 ribu.
Namun masih ada laporan dari masyarakat yang terkadang membayar Rp 50-60 ribu saat mengurus SKCK. Putut menyatakan hal tersebut akibat ketidakjelasan petugas dalam memberi tahu biaya yang sesuai dengan aturan.
Baca juga: Ombudsman: Layanan Kesehatan Paling Banyak Dikeluhkan
Putut mengatakan timnya akan terus mengawasi pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab kepolisian. "Serta meningkatkan pelayanan, yakni dengan mempercepat proses dan tidak bersentuhan langsung dengan petugas," ucapnya. Pada 2019, SKCK akan merambah ke online untuk menghindari terjadinya maladministrasi.