TEMPO.CO, Jakarta - Pembina Mata Air Foundation Nusron Wahid mengatakan Indonesia tengah mengalami ancaman ideologi dengan tingginya peluang radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa. Pernyataan ini disampaikan Nusron merespons hasil survei yang dirilis Alvara Research Center bersama Mata Air Foundation.
"Bangsa Indonesia sedang mengalami SOS atau lampu merah ideologi," kata Nusron di Restoran Batik Kuring, SCBD, Jakarta pada Selasa, 31 Oktober 2017.
Hasil survei Alvara terhadap para pelajar dan mahasiswa antara lain menyebutkan 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 persen pelajar SMA setuju dengan terbentuknya negara Islam. Tak hanya itu, sebanyak 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar menyatakan rela berjihad demi tegaknya negara Islam atau khilafah.
Baca: Survei Alvara: 20 Persen Pelajar dan Mahasiswa Rela Berjihad
Survei itu dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa dan 2.400 pelajar beragama Islam dari 25 perguruan tinggi favorit di seluruh Indonesia dan sejumlah sekolah menengah atas favorit atau unggulan di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.
Menurut Nusron, angka tersebut tergolong tinggi. Ia mengatakan pemerintah perlu mengulas kembali model kurikulum pendidikan agama yang ternyata tidak mampu menjawab persoalan potensi radikalisme di kalangan pelajar dan mahasiswa.
"Kenapa agama yang selama ini didekati secara doktriner ternyata tidak mampu menjawab masalah. Terbukti teman-teman pelajar dan mahasiswa belum bisa memahami konsepsi negara secara utuh," ujar politisi Partai Golkar ini.
Baca: Survei: Yusuf Mansur Ulama Terpopuler di Kalangan Mahasiswa
Nusron mengatakan, pemikiran yang transformatif diperlukan dalam belajar agama, terutama untuk memahami teks Al Quran dan Hadits. Sebab, kata dia, terdapat beberapa ayat Kitab Suci yang secara harfiah dapat dimaknai bahwa Islam menganjurkan tindakan kekerasan demi terbentuknya negara atau untuk memperjuangkan syariat.
"Padahal maksudnya enggak demikian. Nah ini menjadi refleksi total terhadap kurikulum pendidikan agama," kata Nusron.
Nusron mengatakan persoalan kurikulum pendidikan agama ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah melalui Kementerian Agama, serta bagi seluruh masyarakat Indonesia. "Ini juga sekaligus PR tentang model pembelajaran kita ataupun kurikulum pendidikan agama kita, itu harus direvisi secara total kalau kita melihat dari data ini," ujarnya.