TEMPO Interaktif, Jakarta:Yayah B.K. Lumintaintang, 60 tahun, saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara penghinaan terhadap Presiden Megawati, menilai judul-judul dan isi berita yang dimuat di harian Rakyat Merdeka tidak menghina presiden. Saya tidak melihat judul itu sebuah penghinaan, tapi sebuah tuturan murni dari gejolak sosial yang saat itu melatarbelakanginya, kata Yayah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (4/8) siang.
Sebagai ahli sosio-linguistik, ia berpendapat judul yang diambil dari tuturan narasumber itu merupakan cerminan dari situasi saat itu. Apalagi, judul itu diambil dari tuturan yang ada di dalam tubuh berita. Untuk menilainya, tuturan itu tidak boleh dilepaskan dari konteks dan situasi pemakaiannya, kata peneliti di Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Universitas Indonesia itu.
Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman didakwa telah menghina Presiden Megawati Soekarno Putri melalui sejumlah judul dan berita yang dimuat di harian tersebut. Supratman dijerat dakwaan primer pasal 134 jo pasal 65 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 6 tahun. Ia juga dikenakan dakwaan subsider melanggar pasal 137 jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
Menurut Yayah, konteks dan situasi pemakaian tuturan tidak dapat dilepaskan dari tuntutan komunikasi. Tuntutan komunikasi itu disebabkan karena adanya kebijakan presiden yang menaikkan harga bahan baker minyak, tarif dasar listrik dan telepon dalam kondisi ekonomi yang mencekik.
Ia menilai judul yang berasal dari kutipan langsung mahasiswa yang sedang berdemonstrasi di jalan itu, memang merupakan tuturan murni dari peristiwa tutur yang emosional. Dari sisi sosio-linguistik, kalimat-kalimat itu sangat mewakili tuntutan komunikasi karena ada peristiwa sosialnya.
Baginya, keempat judul yang dipermasalahkan itu, tidak lebih dari sekadar bahasa metafora atau perbandingan. Judul itu kan ungkapan dari kontrol sosial terhadap pemerintahan, ujarnya, karena bahasa merupakan produk sosial.
Dalam kasus ini, ia menilai sangat sulit untuk mengukur apakah Megawati tersinggung dengan judul-judul yang dimuat di harian Rakyat Merdeka. Alasannya, ia tidak melihat adanya ucapan dari Mega secara langsung di pemberitaan itu. Bahasa itu sangat personal, dan subyek harus terlibat komunikasi secara langsung. Sedangkan dalam kasus ini, Megawati tidak terlibat komunikasi secara langsung, katanya. Ia lalu balik bertanya pada hakim, Bagaimana mungkin kita tahu Ibu Mega marah jika ia tidak pernah menanggapinya?
Secara sosio-linguistik, Yayah berpendapat, yang tersinggung itu mungkin kelompok pendukung yang mengatasnamakan Megawati. Tapi secara data dan fakta, jika ada orang yang merasa tersinggung dari sebuah tulisan, maka harus orangnya sendiri yang mengatakan, tutur saksi ahli yang saat persidangan mengenakan kerudung hijau.
Ketika ditanya oleh I Dewa Gede Putra Jadnya, salah satu anggota Majelis Hakim, apakah judul-judul itu tidak melanggar etika profesi wartawan atau norma kesusilaan, Yayah berpendapat sudah menjadi peran media untuk menyampaikan berita sesuai fakta. Sedangkan judul itu merupakan fakta yang langsung diambil dari kalimat-kalimat yang keluar dari narasumber yang tidak bisa dilarang.
Kendati demikian, ia juga mengakui, jika hanya membaca judulnya saja, seorang pembaca tidak akan mengetahui jika judul itu merupakan rekaman langsung dari tuturan narasumber. Mestinya diberi tanda kutip untuk menunjukkan bahwa kalimat itu diambil dari tuturan narasumber, ucap peneliti yang meraih master di Leiden, Belanda. (Yandhrie ArvianTempo News Room)