TEMPO Interaktif, Jakarta:Kejaksaan Agung menunggu Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan pembentukan pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc ke Presiden untuk menyidik pelanggaran HAM berat. “Jadi kami tunggu apakah DPR benar-benar nanti mengusulkan kepada Presiden sampai terbentuknya pengadilan itu,” kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam jumpa pers di kantornya, Jumat (9/2).Kesepakatan ini diambil dalam rapat kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi III DPR kemarin malam. Komisi III dan Kejaksaan masih tidak sepakat bahwa Komisi Nasional HAM dapat langsung mengadakan penyelidikan tanpa usulan dari DPR. Jaksa Agung menganggap Komisi Nasional HAM tidak berwenang untuk tiba-tiba melakukan penyelidikan. “Sebab, menurut pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, DPR harus kerja dulu membentuk panitia khusus, menentukan ini pelanggaran HAM berat atau bukan, dan (menentukan) tempus dan locus delictinya,” kata Arman. Pengadilan HAM dan penyidikan oleh Kejaksaan, menurut Arman, merupakan satu kesatuan. Arman mencontohkan adanya batasan waktu 90 hari untuk penggeledahan dan penyitaan. “Itu semua harus izin pengadilan. pengadilannya mana? Tidak ada,” kata Arman. Pengadilan reguler pun tidak dapat menangani kasus pelanggaran HAM berat. “Tidak bisa, sebab ini retroaktif,” kata Arman. Kendala yang dihadapi kejaksaan, kata Arman, adalah semata karena Undang-Undang yang mengatur harus adanya usulan DPR. “Kalau kami nurut saja apa kata Komnas, eksepsi di pengadilan bebas semua. Nanti Jaksa Agung dibilangnya bodoh,” kata dia. Sebelumnya DPR telah menetapkan kasus Trisaksi, Semanggi 1, dan Semanggi 2 bukan sebagai pelanggaran HAM berat. Arman menganggap hal ini menarik, karena DPR tetap akan mengusulkan ketiga kasus ini ke presiden. “Bukannya (DPR) tidak konsisten. Tapi menurut DPR, yang dulu beda dengan yang sekarang. Ini mau diusulkan lagi. Ya terserah,” kata dia. FANNY FEBIANA