Isu Raja Perempuan, MUI Yogya: Sultan Sebaiknya Tetap Laki-laki
Reporter
Editor
Jumat, 15 September 2017 21:04 WIB
Adik kandung Sri Sultan Hamengkubuwono X, KGPH Hadiwinoto melangsungkan ritual Ngabekten kepada raja jawa Sri Sultan Hamengkubuwono X di Bangsal Kencono, kompleks Keraton Yogyakarta, Kamis (8/8). TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan tak ikut campur urusan suksesi raja Keraton Yogyakarta pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi atas gugatan Undang-Undang Keistimewaan (UUK) Nomor 13 tahun 2012. Putusan MK membuka peluang perempuan menduduki tahta Kesultanan Yogyakarta.
Ketua MUI DIY Kiai Haji Toha Abdurrahman menuturkan polemik soal isu raja perempuan Keraton Yogyakarta sebaiknya diselesaikan dengan mendasarkan pada Undang-Undang Keistimewaan. "Pendapat saya, seorang sultan harusnya laki-laki. Kalau gubernur perempuan mangga saja jika sultan (yang) menunjuk (gubernur) perempuan," ujar Toha dalam Sarasehan Safar Jumat Masjid Pathok Negara dan Masjid Kagungan Dalem Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ke-32 di Masjid Gedhe Kauman, Jumat 15 September 2017.
Toha menuturkan sesuai UU Keistimewaan dan juga paugeran keraton, raja Yogyakarta harus bergelar Sultan Hamengku Buwono sebagai khalifatullah atau pemimpin. Dengan gelar khalifatullah, ujar Toha, menunjukkan bahwa Keraton Yogya sebagai Kerajaan Islam yang diakui nusantara hingga kekhalifahan Turki sejak ratusan tahun silam.
Atas dasar itu Toha berharap kalangan internal keraton bisa segera menyelesaikan polemik dengan tetap berpijak pada Al Quran dan Hadist sesuai asal muasalnya sebagai kerajaan Islam. "Sesuai aturan Islam, Al Quran dan Hadist, nggak usah neka-neka," ujarnya.
Dalam sarasehan yang diikuti oleh jemaah Masjid Gedhe Kauman itu juga disampaikan pengukuhan Rayi Dalem (putera) Sultan Hamengku Buwono IX, Gusti Bendoro Pangeran Hario Prabukusumo, sebagai sesepuh Paguyuban Penegak Paugeran Adat. Gusti Prabu merupakan adik tiri Sultan HB X.
Paguyuban beranggotakan sejumlah elemen masyarakat, di antaranya alim ulama, abdi dalem, paguyuban padukuhan dan kepala desa. Wakil Gusti Prabu, Kanjeng Mas Tumenggung Condro Purnomo, yang ditugaskan hadir dalam sarasehan ini mengatakan paguyuban sepakat dan berharap sultan tetap bergelar Hamengku Buwono.
"Sultan HB X saat berada di dalam (keraton) menggunakan gelar Hamengku Bawono, sedangkan di Kepatihan (Kantor Gubernur DIY) memakai gelar Hamengku Buwono. Permasalahan ini belum clear," ujarnya.
Condro yang juga pengelola museum di lingkungan Keraton Yogya ini menegaskan suksesi raja dan paugeran merupakan ranah para putra putri Sultan HB IX, HB X, dan anak-anak Sultan HB X sehingga tidak ada orang lain yang boleh ikut campur.
"Kami di luar hanya berkewajiban menjaga agar suasana masyarakat DIY ayemtentrem dan penyelesaian internal tak meninggalkan ajaran Islam dalam paugeran Kasultanan Mataram Islam Ngayogyakarta Hadiningrat," ujarnya.
78 Tahun Sultan Hamengkubuwono X, Salah Seorang Tokoh Deklarasi Ciganjur 1998
28 hari lalu
78 Tahun Sultan Hamengkubuwono X, Salah Seorang Tokoh Deklarasi Ciganjur 1998
Hari ini kelahirannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak hanya sebagai figur penting dalam sejarah Yogyakarta, tetapi juga sebagai tokoh nasional yang dihormati.