Terdakwa Irman menolak kesaksian dari saksi Markus Nari dan Ade Komarudin di kasus e-ktp di pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Kamis, 6 April 2017. TEMPO/Maria Fransisca
TEMPO.CO, Jakarta – Bendahara pembantu proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) Junaidi mengaku telah diminta oleh terdakwa kasus korupsi e-KTP Irman dan Sugiharto untuk memusnahkan catatan-catatan pemasukan dan pengeluaran dana talangan untuk tugas supervisi proyek e-KTP.
“Saya buang, ada yang saya bakar juga,” kata Junaidi dalam lanjutan sidang e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 22 Mei 2017.
Junaidi mengungkapkan dana talangan yang dimaksud adalah untuk perjalanan dinas ke daerah dalam kaitan proyek e-KTP. Pemusnahan dilakukan karena saat itu tengah ada penggeledahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Junaidi berujar catatan-catatan tersebut dibuang ke tempat sampah. “Catatan penerimaan pengeluaran di luar yang saya kelola dari pagu dipa,” kata dia.
Sementara itu, jaksa penuntut umum KPK Abdul Basir menuturkan bahwa dalam dakwaan ada sekitar Rp 2,5 miliar dana talangan e-KTP. Menurutnya pencairan dana talangan tersebut juga dilakukan bertahap. Dalam satu kali pencairan nilainya antara Rp 50-200 juta.
Selain itu, Junaidi mengaku pernah dimintai uang sebesar Rp 100 juta oleh Irman. Dalam persidangan ia mengatakan uang itu akhirnya dipinjamkan ke Irman dengan menggadaikan bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB) mobilnya. Dari jumlah itu, Irman telah mengembalikan sebesar Rp 90 juta melalui Sugiharto.
Irman menuturkan penggadaian BPKB baru ia ketahui pada 2016 setelah Junaidi cerita. Ia mengaku sepekan setelah mengetahui uang itu hasil menggadaikan BPKB, ia mengembalikan pinjaman tersebut. “Bukan untuk pribadi, tidak mungkin saya paksa (untuk meminjamkan uang),” kata dia.
Ketua majelis hakim sidang e-KTP John Halasan Butarbutar menilai Junaidi sangat loyal kepada atasan. Namun ia menyebut tindakan itu sangat berbahaya karena telah menghilangkan dokumen yang dinilai penting.