Kasus di Akpol Semarang, Psikolog: Kekerasan Asrama Harus Diputus
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Sabtu, 20 Mei 2017 21:32 WIB
TEMPO.CO, Semarang - Psikolog Rumah Sakit (RS) St Elisabeth Semarang Probowatie Tjondronegoro menyatakan mata rantai kekerasan yang berpotensi terjadi di sekolah berasrama harus diputus. Probowatie mengatakan kekerasan cenderung berpotensi terjadi di sekolah berasrama. "Sebab, ada unsur senioritas-junioritas, ada semangat jiwa korsa, dan sebagainya," katanya di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu 20 Mei 2017. (Baca: Buntut Taruna Akpol Tewas, Sejumlah Polisi Aktif Diperiksa Propam)
Pernyataan tersebut menanggapi kembali terjadinya kasus kekerasan yang terjadi di sekolah berasrama yang diduga dilakukan seniornya. Dalam tragedi di Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang itu, Brigadir Dua Taruna Mohammad Adam, taruna tingkat II tewas dalam apel pembinaan oleh seniornya, di luar kegiatan resmi sekolah.
Menurut Probowatie, nuansa senioritas-junioritas yang kental di sekolah berasrama harus diawasi. Menurut dia, pada banyak kasus junior yang menjadi korban penganiayaan oleh kakak kelas atau seniornya. (Baca: Taruna Akpol Meninggal, Akademisi: Evaluasi Konsep Pendidikannya)
"Pasien saya banyak yang seperti ini. Namun, korban ini tidak bakal mengaku sudah diapain saja oleh seniornya. Apa kamu dipukul? di-bully? Jawabannya, pasti 'Siap, tidak!" tutur dia.
Sebab, Probowatie melanjutkan, siswa-siswa sekolah model asrama ini terikat dan sangat mematuhi aturan main yang berlaku di sekolahnya. Seperti dihukum karena bersalah, dan sebagainya.
Persoalannya, kata Probowatie, jika kemudian model hukuman disalah-artikan dengan kekerasan maka akan salah dipahami oleh mereka yang berlangsung secara terus menerus lintas generasi.
"Ini diperkuat dengan semangat jiwa korsa. Saya nilai jiwa korsa itu baik. Namun, akan sangat fatal jika disalah-artikan. Sebab, 'punishment' cenderung diberikan secara kolektif," katanya. (Baca: Di TKP Taruna Akpol Tewas, Polda Jateng Temukan Kopel dan Tongkat)
Ia mengingatkan kekerasan terjadi jika ada keinginan, kesempatan, dan tempat yang berpotensi besar terjadi di sekolah berasrama jika pihak sekolah lengah dalam melakukan pengawasan. Probowatie menilai, hal tersebut sudah jadi mata rantai.
"Saran saya, tata ulang sistem pendidikan di sekolah berasrama. Jangan berikan kesempatan sifat-sifat kekerasan ini muncul di anak-anak didik," katanya.
Selain itu, kata dia, pengawasan terhadap aktivitas siswa secara lebih ketat harus diberikan sekolah berasrama, terutama dalam kegiatan-kegiatan di luar kegiatan resmi sekolah. "Kalau lengah, pasti akan terjadi lagi," ucap Probowatie. (Baca: Penganiayaan Taruna Akpol, Polda Jawa Tengah Periksa 35 Saksi)
ANTARA