Rapat paripurna DPR membahas usulan hak angket diwarnai dengan keluarnya sejumlah anggota dewan yang menolak usulan hak angket kepada KPK, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 28 April 2017. Tempo/Arkhelaus
TEMPO.CO,Jakarta – Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menilai Dewan Perwakilan Rakyat menabrak setidaknya empat undang-undang dalam menggulirkan hak angket kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut dia, pengajuan hak angket cacat hukum.
”Pengajuan hak angket sudah keliru secara substansi dan bertentangan dengan UU MD3. Mekanisme pengambilan keputusan sidang cacat prosedural,” kata Oce di kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Rabu 3 Mei 2017.
Hak angket pertama kali mencuat dalam rapat kerja antara KPK dan Komisi III DPR pada 19 April 2017 lalu. Komisi meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam Haryani dalam kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Namun KPK menolak.
Komisi meradang dengan wacana menggulirkan hak angket. Dalihnya, untuk menyelidiki beberapa poin dalam lembaga antirasuah tersebut. Beberapa di antaranya, laporan, keuangan KPK, adanya surat perintah penyidikan yang bocor, dan menyelidiki kubu-kubu di internal KPK. Hak angket disetujui dalam paripurna yang berakhir ricuh.
Oce menilai DPR menabrak Undang-Undang tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Menurut dia, kewenangan memeriksa keuangan KPK adalah kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan. “Tidak ada aturan yang memperbolehkan DPR menggunakan laporan BPK untuk mengajukan hak angket,” katanya.
Mengenai dalih DPR untuk membuka rekaman Miryam, Oce menilai rencana tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik serta Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Data penegakan hukum hanya boleh dibuka di pengadilan,” ujarnya.
Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai dalih-dalih Dewan hanya untuk mendapatkan legitimasi mengajukan hak angket. “Kita harus pahami bahwa ini hanya motifnya ganggu KPK dalam e-KTP,” kata Feri.
Pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang akhirnya memenangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran telah menyisakan pekerjaan rumah cukup berat.