LBH Jakarta Menilai Kasus Ahok Bentuk Kriminalisasi Politik
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Senin, 17 April 2017 09:27 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menilai pasal penodaan agama yang dijeratkan pada Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merupakan alat kriminalisasi dalam konteks Pilkada DKI Jakarta. Direktur LBH Al Ghiffari Aqsa mengatakan Ahok telah menjadi korban dari penggunaan pasal Pasal 156a KUHP di masa-masa Pilkada yang seharusnya demokratis.
Menurut dia, negara dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah RI masih belum mentaati rekomendasi dari putusan MK dalam Uji Materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca:
Perkembangan Terbaru Ahok di Berita Pilkada DKI 2017
Simak Hasil Quick Count atau Hitung Cepat Pilkada DKI 2017
"Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama," kata Al Ghiffari melalui keterangan tertulisnya, Minggu 16 April 2017.
Al Ghiffari menjelaskan, pernyataan Ahok di Pulau Pramuka pada September 2016 lalu sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama. Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat agama (Al-Quran) untuk menipu pubilk dalam kegiatan politik.
"Pernyataan Ahok tersebut pun tidak memenuhi itikad buruk yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP," katanya.
Baca: Bicara di Depan Kader Partai, Ahok Cerita Pengalaman Politiknya
Pernyataan Ahok tersebut, kata Al Ghiffari, dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E Konstitusi, UU No. 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. "Penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok tersebutlah yang sesungguhnya menimbulkan keresahan di masyarakat," ujarnya.
Menurut Al Ghiffari, pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok tanpa mendengar, menyaksikan, mengetahui serta mengalami langsung pernyataan tersebutlah yang memunculkan gerakkan massa 411, 212 dan 313. Hal itu juga yang dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama.
"Tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal Penodaan Agama merupakan tindakan yang merusak demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi penegakkan hukum – supremacy of law," tuturnya.
Baca: Dalam Kasus Penodaan Agama, LBH Jakarta Bela Ahok
Kadiv Advokasi LBH Jakarta Yunita menambahkan bahwa kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama jelas justru meruntuhkan tatanan penegakkan hukum, demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia, serta wujud nyata dari peradilan sesat. “Di atas segalanya LBH Jakarta sangat menyayangkan keberadaan dan penggunaan kebijakan anti demokrasi dan inkonstitusional di iklim demokrasi Indonesia hari ini terlebih di proses Pilkada kota DKI Jakarta,” tutur Yunita.
LBH Jakarta, kata Yunita, juga sudah sejak lama mengkritisi keberadaan kebijakan ini, namun pemerintah dan DPR sama sekali tidak bergeming untuk menyelesaikannya.
Baca: Ahok Ungkap Kenapa Sebut Al Maidah 51 di Pidato Kepulauan Seribu
LBH Jakarta juga menyampaikan empat rekomendasi kepada majelis hakim pada perkara ini. Pertama, Majelis Hakim dituntut menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara a quo, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi, yaitu pasal 27 ayat 1, pasal 28 E ayat 1 dan 3, pasal 28 I ayat 2, dan pasal 28 D UUD 1945.
Kedua, agar Majelis Hakim menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.
Ketiga, agar Majelis Hakim dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti dengan mengacu pada: (1) Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan Pasal dengan sanksi pidana; dan (2) Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005.
Baca: Jaksa Putar Video Ahok Marah-marah, Ahok: Itu Memarahi Koruptor
Keempat, agar Majelis Hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.
INGE KLARA SAFITRI
Simak: Quick Count Pilkada DKI Putaran 2