Sejumlah lahan gambut dibakar masyarakat di Desa Bungai Jaya, Kapuas, Kalimantan Tengah, untuk membuka lahan pertanian. TEMPO/Diko Oktara
TEMPO.CO,Palangkaraya – Pemerintah diminta segera melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Ada sejumlah pasal yang dinilai kontroversial dalam PP tersebut, di antaranya mengenai pemberlakuan moratorium pembukaan lahan baru (land clearing) di lahan gambut hingga penyetopan pemberian izin untuk pemanfaatan lahan gambut.
Ketua Bidang Pengelolaan Hasil Perkebunan DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Didik Hariyanto, kepada wartawan, Senin, 20 Februari 2017, mengatakan sebaiknya Presiden Jokowi segera merevisi PP tersebut, terutama untuk pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
“Saya kira Bapak Presiden perlu diberi masukan bahwa ada 344 ribu keluarga yang hidupnya bergantung pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah itu, menurut Didik, seharusnya melindungi investasi di industri kelapa sawit dalam memperkuat ekonomi domestik dan menjaga stabilitas ekonomi nasional.
”Apalagi, menurut Menteri Keuangan, ekonomi Indonesia mengandalkan peningkatan konsumsi domestik sebagai antisipasi kebijakan proteksionisme Presiden AS Donald Trump,” tuturnya.
Selain dilakukan revisi, ujar Didik, Presiden perlu mendengarkan masukan dari para pemangku kepentingan yang terlibat langsung. “Mereka telah berulang kali melakukan teriakan dan jeritan permintaan perlindungan diberbagai forum agar industri sawit tak dimatikan,” ucapnya.
Hal senada dikatakan pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Gunawan Jajakirana.
Ia menilai banyak pasal dalam PP 57 Tahun 2016 itu yang tidak memiliki kajian ilmiah, terutama dalam penentuan tinggi muka air tanah gambut.