Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik
Editor
Rina Widisatuti
Minggu, 5 Juni 2016 14:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 perihal Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada.
"Hanya ada satu kali pilkada transisi," katanya saat diskusi Catatan Awal terhadap Hasil Revisi UU Pilkada di Jakarta, Minggu, 5 Juni 2016.
Fadli mengatakan akan terjadi persoalan penataan waktu penyelenggaraan pilkada pada revisi UU Pilkada. Dalam revisi itu disebutkan, penyelenggaraan pilkada serentak diajukan dari awal 2027 menjadi 2024. Ia menilai, hal yang perlu dicermati adalah akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah pada 2022 dan 2023 dari hasil pilkada 2017 dan 2018.
Menurut Fadli, dalam ketentuan UU Pilkada yang direvisi, untuk dua jenis masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023, harus ada pelaksana tugas yang ditunjuk. Ia mengatakan akan ada 101 pelaksana tugas yang ditunjuk untuk menempati posisi kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022. Sementara itu, ada 171 daerah yang harus menunjuk pelaksana tugas guna menempati posisi kepala daerah yang memiliki AMJ pada 2023.
Fadli menuturkan, pada 2024, akan ada pemilu borongan. Menurut dia, pada Juni 2024, akan ada pemilihan umum skala nasional untuk memilih calon presiden dan wakilnya. Itu akan dibarengi dengan pilkada serentak yang dijadwalkan sekitar Oktober 2024. "Kondisi riskan, aspek penyelenggara terbebani," ucapnya.
Pemilu borongan, menurut Fadli, juga bisa mengakibatkan persoalan teknis. Partai politik akan kesulitan perihal konsolidasi sehingga bisa memicu konflik internal partai. Dari segi pemilih, kata dia, akan berpotensi jenuh datang ke tempat pemungutan suara.
Sementara itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Alma Syafrina, menilai, pengesahan revisi UU Pilkada tidak mencerminkan hasil evaluasi pada pilkada 2015. Misalnya berkaitan dengan permintaan mahar politik yang tidak diatur. Padahal, ia menilai, permintaan mahar politik kerap terjadi.
Selain itu, Alma mengatakan tidak ada batasan sumbangan pihak ketiga kepada pasangan calon. Hal itu juga tidak memiliki dasar. Ia menilai, hal tersebut berpotensi menimbulkan keberpihakan pasangan calon terhadap kebijakan yang akan menguntungkan pihak yang menyumbang. "Pihak ketiga tidak mungkin nyumbang besar tidak disertai deal-deal politik," tuturnya.
DANANG FIRMANTO