TNI Menolak Penguakan Sejarah 1965? Ini Kata Agus Widjojo
Editor
Angelus Tito Sunaryo
Rabu, 27 April 2016 12:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang diadakan awal pekan lalu mencatatkan sejarah. Itu adalah ajang resmi pertama yang didukung pemerintah terkait penguakan sejarah gelap tragedi 1965.
Salah satu pionir dan penggagas acara itu adalah Letjen (Purn) Agus Widjojo, yang kini menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Agus mengakui bahwa TNI masih menjadi salah satu institusi yang resisten terhadap penguakan sejarah tersebut.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis pekan lalu, Agus yang juga Ketua Dewan Pengarah Simposium menjawab soal keengganan TNI tersebut, termasuk soal tujuan simposium tadi. Berikut ini petikan wawancaranya yang selengkapnya ada di Majalah Tempo edisi Senin 25 April 2016.
Salah satu pihak yang paling resistan terhadap dikuaknya tragedi 1965 adalah TNI. Bagaimana Anda menyikapinya?
Tidak bisa dimungkiri, apalagi TNI secara institusional. Ini kenyataan. Kita harus terima itu untuk bisa kita olah. Jangan disembunyikan seolah-olah proses ini lancar. Justru itu yang harus dihadapi untuk mencari solusi. TNI memang masih berkiblat pada doktrin dan pandangan terhadap ketahanan dan kewaspadaan nasional dalam perspektif masa lalu. Tidak salah juga karena aparat ketahanan itu punya pandangan konservatif.
TNI tidak bisa bergerak sendiri. Kalau dari pihak korban dan eks anggota PKI tidak memberikan bukti bahwa mereka berubah dan sudah mereformasi kelompoknya menjadi warga negara Pancasila, akan terjadi seperti yang dikatakan dalam konsep dilema keamanan.
Doktrin bahwa komunisme masih menjadi ancaman nasional juga masih diberikan di lembaga pendidikan TNI....
Semua harus percaya bahwa komponen apa pun, di mana pun, dan dalam fungsi apa pun harus sadar sebagai bagian dari sistem nasional. Tidak bisa berpikir dalam arogansi sektoral bahwa dia paling menentukan. Dan sistem nasional juga harus menyadari bahwa TNI memberikan pengayoman terhadap semua komponen, sehingga terjadi pandangan yang sifatnya menyeluruh dan tidak terkotak-kotak lagi. TNI harus berpikir bahwa dia merupakan bagian dari sistem nasional dengan supremasi sipil dan kontrol demokratis. Wajar kalau TNI membutuhkan jaminan bahwa otoritas sipil demokratik juga mampu mengelola negara. Ini penting untuk memberikan keyakinan kepada TNI bahwa tidak akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan seperti pengalaman masa lalu.
BACA JUGA:
Gubernur Lemhanas Agus Widjojo: Reformasi TNI Kini Merosot
Ini Cerita di Balik Penyelenggaraan Simposium 1965
Haruskah Negara Minta Maaf Soal 1965, Ini Kata Agus Widjojo
Lalu apa yang menjadi tujuan atau produk akhir simposium ini?
Dalam proses rekonsiliasi, ada tahap yang dinamakan sebagai healing process. Simposium itu punya dua sisi. Pertama, untuk memberikan pencerahan ke masyarakat bahwa ada pendapat berbeda, dan supaya kita belajar dan memecahkan mitos masa lalu bahwa masing-masing kelompok merasa benar. Kita harus menemukan titik temu supaya bisa segera maju dan bersatu sebagai bangsa yang damai. Public showcase adalah healing process yang keras. Ini persoalan kita sebagai bangsa. Tidak usah ditutupi. Jadi, semua harus tahu, mau ke mana kita mencari solusi.
Kedua adalah untuk membantu pemerintah memberikan rekomendasi, alternatif, dan bahan guna perumusan kebijakan pemerintah. Mengakhiri atau memberikan solusi terhadap pelanggaran berat hak asasi yang terjadi di masa lalu. Itu akan disampaikan kepada pemerintah lewat Pak Luhut. Kalau pemerintah kurang jelas, silakan bertanya kepada kami. Kalau soal kewenangan dan operasional, itu masuk halaman pemerintah.
TITO SIANIPAR