TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Hanura Dewi Yasin Limpo bukan kali ini terserat kasus. Sebelumnya, adik kandung Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo itu namanya dikaitkan dengan perkara pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun kasus ini berhenti setelah Kepolisian RI menyimpulkan bahwa tidak ada bukti bahwa Dewi Yasin Limpo terlibat.
Dewi Yasin Limpo dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi saat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Selasa 20 Oktober 2015. Anggota Komisi VII DPR itu diduga terkait dengan kasus suap proyek infrastruktur di Sulawesi Selatan. Ia kini sedang dalam pemeriksanaan penyidik KPK di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta.
Kasus pemalsuan surat keputusan MK mencuat pada Juli-Agustus 2011. Ketika Dewi Yasin Limpo tengah memperjuangkan perolehan kursinya di DPR, yang dibatalkan MK. Dewi Yasin Limpo batal melenggang ke Senayan karena MK mengeluarkan surat koreksi pada 17 Agustus 2009. gara-gara surat itu, KPU akhirnya menetapkan pemilik sah kursi adalah Metariani Habie dari Partai Gerakan Indonesia Raya.
Metariani calon legislatif asal Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan 1. Kasus ini kemudian dikenal dengan kisruh kursi haram DPR. “Saya memegang amar putusan Mahkamah Konstitusi karena melegitimasi dan mengikat,” kata Dewi yasin Limpo ketika itu.
Ia tak menganggap terbitnya surat MK Nomor 84/phpu.c/VII 2009, yang isinya merugikannya dan menguntungkan Metariani Habie. “Saya tidak ingin pusing dengan surat tertanggal 14 atau 17, hanya putusan MK yang saya pegang,” ucap Dewi Yasin Limpo.
Kasus dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi yang menyeret Dewi Yasin Limpo sempat ditangani Mabes Polri. Namun, setelah dilakukan penyelididikan disimpulkan tidak ada bukti bahwa Dewi Yasin Limpo terlibat dalam pemalsuan surat keputusan MK.
Kesimpuan saat itu disampaikan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Ketut Untung Yoga. Kepolisian menyebut kasus dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi sarat dengan kepentingan politis. Alat bukti utama berupa surat yang asli belum diketahui keberadaannya. "Ini perkara politis sekali dan terlalu dipaksakan," ujar Yoga dalam keterangan pers di Markas Besar Polri, Rabu 24 Agustus 2011.