Trah Hamengku Buwono Tak Kompak Sikapi Sabda Sultan
Editor
LN Idayanie Yogya
Rabu, 3 Juni 2015 02:41 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Ketua paguyuban dukuh se-Daerah Istimewa Yogyakarta, Semar Sembogo, Sukiman, meminta trah Hamengku Buwono kompak menyikapi tiga sabda yang telah dikeluarkan Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sultan Hamengku Bawono X.
Tiga sabda tersebut yakni sabdatama, yang dikeluarkan pada 6 Maret 2015; sabda raja pada 30 April 2015; dan dhawuh raja pada 5 Mei 2015. “Yang penting, trah kompak dulu. Kami melihatnya belum nyawiji (bersatu),” kata Sukiman saat dihubungi Tempo, Selasa, 2 Juni 2015.
Berdasarkan pemberitaan media selama ini, Sukiman melihat trah Hamengku Buwono belum menghasilkan keputusan bersama. Ada pertemuan yang hanya diikuti adik-adik Sultan HB X dan perwakilan trah HB I-X dan ada trah HB IX yang bertemu dengan Sultan. “Karena yang mempunyai legitimasi paugeran (aturan pokok keraton) kan mereka. Kami di luar itu,” katanya.
Sebelumnya, Forum Penjaga Kasultanan Yogyakarta mengadakan pertemuan di Ndalem Suryokusuman, kompleks Taman Sari Yogyakarta, Minggu malam, 31 Mei 2015. Semar Semobogo adalah bagian dari forum itu.
Dalam pertemuan itu, salah satu tindakan yang disimpulkan harus segera dilakukan trah Hamengku Buwono, menurut Sukiman, yakni mengirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DI Yogyakarta dan melakukan lobi terhadap pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebab isi sabda raja dan dhawuh raja dinilai menabrak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.
Perubahan ...
<!--more-->
Perubahan Nama
Persoalannya, da perubahan nama "Sultan Hamengku Buwono" menjadi "Sultan Hamengku Bawono" dan penghilangan gelar “khalifatullah”. Juga pengubahan nama anak sulung Sultan, "Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun" menjadi "GKR Mangkubumi", yang ditengarai bakal menjadi pengganti Sultan. Padahal Pasal 18 ayat 1-m UU Keistimewaan menyiratkan syarat bahwa Gubernur DIY harus laki-laki. “Trah kan orangnya banyak. Harus komunikatif. Juga berani. Tidak pekewuh (sungkan),” kata Sukiman.
Sedangkan langkah yang akan dilakukan Semar Sembogo yakni kembali melakukan audiensi dengan DPRD DIY. Tidak tertutup kemungkinan hasil audiensi itu akan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR. “Agar UU Keistimewaan itu tetap lestari,” kata Sukiman.
Sukiman menilai semangat ketiga sabda itu tidak linier dengan isi UU Keistimewaan. Efek sampingnya, ada peninjauan ulang atas isi undang-undang tersebut. Bahkan mungkin undang-undang itu dibekukan atau dicabut. Dia khawatir kewenangan perangkat desa mengelola tanah milik Sultan dan Paku Alam turut dicabut. “Kalau dicabut, sama saja DIY seperti provinsi lain. Kami akan tetap setia kepada UU Keistimewaan tak terbatas waktu,” ucapnya.
Cicit HB II, Kanjeng Raden Tumenggung Suryokusumo, mengaku telah bertemu dengan 15 adik Sultan pada Minggu siang, 31 Mei 2015. Suryokusumo selaku ahli hukum yang pernah mengajar di Universitas Padjajaran, Bandung, dengan nama Profesor Sumaryo Suryokusumo, hadir dalam pertemuan itu untuk memberikan pendapatnya.
Dia pun memberi masukan agar penentuan sikap atas tiga sabda tersebut tidak hanya dilakukan dan mengatasnamakan rayi dalem alias adik-adik Sultan, yang merupakan trah HB IX. Melainkan mewakili seluruh trah Hamengku Buwono I-X.
Alasannya, paugeran yang mengusung sultan dengan konsep Islam atau yang menjadi sultan adalah laki-laki sudah ada sejak Kerajaan Demak berdiri, yakni 530 tahun silam. “Jadi pakai atribut trah HB I-X. Tidak cuma trah HB IX. Putri-putri Sultan juga dilibatkan. Kalau ada beda pendapat, itu wajar,” kata Suryokusumo di Ndalem Suryakusuman, Minggu malam, 31 Mei 2015.
Anggota Komisi A DPRD DIY dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Agus Sumartono, menyatakan Dewan memandang persoalan itu masih dalam ranah adat Keraton. Hingga kini, belum ada surat untuk DPRD ihwal isi sabda yang menabrak UU Keistimewaan. “Saya lihat belum ada surat masuk. Kalau ada, kami langsung bahas. Ada konsekuensi hukum positifnya tidak,” kata Agus, yang malam itu hadir di Ndalem Suryakusuman.
PITO AGUSTIN RUDIANA