Sri Sultan Hamengkubuwono X, berikan sambutan atas logo baru Jogja istimewa di kompleks kantor Gubernur DI. Yogyakarta, 5 Februari 2015. TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengucapkan perintah tertinggi (Sabdatama) di Bangsal Kencana Keraton, Jumat, 6 Maret 2015. Ada delapan poin perintah, salah satunya Sultan melarang campur tangan orang lain dalam menentukan pewaris tahtanya.
Larangan dalam bahasa Jawa itu disampaikan Sultan bagi seluruh keluarga keraton dan warga Yogyakarta. Pada poin pertama, Sultan menyatakan, tak seorang pun berhak melebihi kewenangan keraton.
Sebelum Sabdatama tersebut keluar, muncul kontroversi soal Rancangan Peraturan Daerah Keistimewaan tentang pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur. Rapeda ini sebenarnya telah rampung dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode 2009-2014. Namun legislator periode itu gagal mengesahkannya.
Perdebatan muncul terkait Rancangan Peraturan Daerah tersebut terutama Pasal 3 ayat 1 huruf m. Isinya mengatur syarat pencalonan gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengutip Pasal 18 huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bunyinya:
Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak; dan
Sebagian pihak menafsirkan Pasal 3 ayat 1 huruf m itu menutup peluang bagi kaum perempuan untuk menjadi Gubernur DIY. Sebab, di dalamnya hanya mencantumkan kata “istri” dan tidak ada kata “suami”. Artinya, Gubernur DIY harus laki-laki. Sementara, lima anak Sultan yang bakal menjadi ahli warisnya adalah perempuan.
Pada 13 Februari 2015, anggota fraksi PDIP DPRD DIY Rendradi Suprihandoko mengkritik pasal itu. Rendradi menyarankan pasal tersebut dipotong. "Cukup pencalonan menyebutkan daftar riwawyat hidup,” kata Rendradi. "Di era keterbukaan seperti ini harusnya perda itu peka gender."
Hal senada diungkapkan Juru bicara Aliansi Perempuan Yogya Elli Karyani. Menurut Elli, Pasal 3 ayat 1 huruf m Raperda Keistimewaan tersebut diskriminatif.
Namun, ada pula yang mendukung pasal dalam Raperda Keistimewaan tersebut tetap seperti UU Nomor 13 Tahun 2012. Di antaranya, Ketua Fraksi PKS DPRD DIY Arief Budiono. Menurut Arief, sepanjang sejarah Kesultanan Yogyakarta, Sultan adalah adalah laki-laki. “Tradisi itu sekarang dikuatkan oleh UU Keistimewaan DIY,” kata Arief, 17 Februari 2015.
Hal senada diungkapkan Wakil Ketua Fraksi Golkar DPRD DIY Agus Subagyo. Menurut Agus, Raperda tersebut seharusnya sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2012 sebagai payung hukum yang lebih tinggi.