Putusan MKMK kepada Anwar Usman, Saldi Isra, dan Arief Hidayat terkait Laporan Dugaan Pelanggaran Etik
Reporter
Amelia Rahima Sari
Editor
Andry Triyanto Tjitra
Kamis, 28 Maret 2024 14:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menjatuhkan sejumlah putusannya terkait kasus dugaan pelanggaran etik terhadap Hakim Kontitusi Anwar Usman, Saldi Isra, dan Arief Hidayat, pada hari ini, Kamis, 28 Maret 2024.
MKMK memutuskan Anwar terbukti melanggar etik. Sementara putusan MKMK lainnya menyebut Saldi dan Arief tidak melanggar etik.
Berikut putusan MKMK terkait laporan dugaan pelanggaran etik ketiga Hakim Konstitusi tersebut:
Anwar Usman
MKMK memutuskan Hakim Konstitusi Anwar Usman terbukti melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam prinsip Kepantasan dan Kesopanan butir penerapan angka satu dan angka dua Sapta Karsa Hutama,” kata Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam Sidang Pleno Pengucapan Putusan MKMK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024.
Atas putusan tersebut, Anwar dijatuhi hukuman berupa sanksi teguran tertulis oleh MKMK.
Diketahui, Anwar dilaporkan ke MKMK oleh pengacara Zico Leonardo Simanjuntak dan Alvon Pratama Sitorus serta Junaidi Malau atas pernyataannya dalam konferensi pers terkait keberatannya atas sanksi etik yang dijatuhkan oleh MKMK dalam Putusan No.2/MKMK/L/2023, yaitu pencopotan jabatan dari Ketua MK.
Anwar juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan pengangkatan Ketua MK yang baru dengan masa jabatan 2023-2028, Suhartoyo.
Anggota MKMK Yuliandri mengatakan, hal yang menjadi perhatian utama para hakim adalah sikap Anwar selaku Hakim Terlapor yang tidak dapat menerima putusan MKMK dengan menggelar konferensi pers.
“Dalam konferensi pers tersebut, Hakim Terlapor secara terbuka menyampaikan kepada publik yang diliput oleh berbagai media khususnya perihal keberatannya mengenai prosedur beracara, pertimbangan Majelis Hakim, dan sanksi,” kata Yuliandri.
Secara kelembagaan, tindakan tersebut memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap marwah dan keluhuran martabat MK karena penyampaian keberatan dilakukan secara terbuka.
Selain itu, bagi MKMK, gugatan Anwar ke PTUN merupakan fakta yang memperkuat bahwa ia tidak dapat menerima putusan tersebut, bahkan melakukan reaksi dan perlawanan.
Menurut pandangan majelis, ketidakterimaan Anwar tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Dengan demikian, Majelis Kehormatan memandang perlu untuk memberikan teguran tertulis kepada Hakim Terlapor untuk menunjukkan sikap patuhnya yang tulus terhadap Putusan Majelis kehormatan, in casu Putusan No.2/MKMK/L/2023,” katanya.
<!--more-->
Saldi Isra
Sementara untuk Hakim Konstitusi Saldi Isra, MKMK memutuskannya tidak melanggar kode etik terkait dugaan afiliasi Saldi dengan PDI Perjuangan (PDIP).
“Hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi, sepanjang terkait dugaan hakim terlapor berafiliasi dengan salah satu partai politik peserta pemilu, yaitu PDI Perjuangan,” kata Palguna.
Diketahui, pelapor atas nama Andi Rahadian dari organisasi Sahabat Konstitusi melaporkan Saldi Isra atas dugaan afiliasi dengan PDIP.
Bukti yang diajukan pelapor berasal dari pernyataan Ketua PDIP Sumatera Barat Alex Indra Lukman dalam suatu berita daring. Alex menyebutkan tiga nama dari tanah Minangkabau, salah satunya adalah Saldi Isra, yang dipertimbangkan serius untuk menjadi calon wakil presiden.
Dalam pertimbangan yang dibacakan oleh anggota MKMK Ridwan Mansyur, majelis menilai bahwa dalil pelapor tidak memiliki dasar yang kuat karena hanya didasarkan pemberitaan media daring.
Selain itu, lanjut Ridwan, Saldi Isra membantah adanya komunikasi atau kesepakatan dengan PDIP terkait pencalonannya sebagai calon wakil presiden.
Argumen tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Saldi Isra yang menyebut bahwa dia berusaha menghindari hal-hal yang menimbulkan penafsiran atau dugaan mengejar popularitas.
“Hal tersebut di antaranya dicontohkan oleh penolakan Hakim Terlapor yang dinominasikan sebagai penerima penghargaan Tokoh Minang Nasional Penegak Konstitusi Berintegritas dalam acara peringatan HUT ke-17 Padang TV,” kata Ridwan.
Majelis pun menilai bahwa dalil pelapor tidak cukup kuat untuk membuktikan afiliasi Saldi Isra dengan PDIP terkait dugaan pencalonan menjadi calon wakil presiden.
“Majelis Kehormatan tidak menemukan cukup bukti untuk menyatakan adanya pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana yang didalilkan pelapor,” pungkasnya.
<!--more-->
Arief Hidayat
MKMK memutuskan Arief Hidayat tidak melanggar etik terkait jabatannya sebagai Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI).
“Hakim terlapor tidak terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sepanjang terkait kedudukan Hakim Terlapor sebagai Ketua Umum Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia,” kata Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna dalam Sidang Pleno Pengucapan Putusan MKMK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024.
Diketahui, Arief dilaporkan ke MKMK oleh seorang pelapor bernama Harjo Winoto atas keterlibatannya dalam PA GMNI yang mana organisasi tersebut diduga terafiliasi dengan PDI Perjuangan (PDIP)
Terlebih, Arief menjadi salah satu Hakim Konstitusi yang ikut menyidangkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di mana Ganjar-Mahfud yang diusung oleh PDIP mengajukan permohonan.
Harjo menilai, apabila hakim yang terafiliasi dengan partai politik duduk menjadi hakim di Sidang PHPU, maka akan terjadi benturan kepentingan.
Dalam pertimbangan yang dibacakan oleh anggota MKMK Ridwan Mansyur, majelis menilai bahwa PA GMNI bukanlah organisasi yang terafiliasi dengan partai politik tertentu sebagaimana yang didalilkan pelapor.
“Dengan merujuk Pasal 4 dan Pasal 7 AD/ART PA GMNI telah ternyata bahwa PA GMNI bukanlah organisasi yang berafiliasi pada suatu partai politik tertentu sebagaimana yang didalilkan pelapor karena dengan sifat keanggotaannya yang terbuka,” kata Ridwan.
MKMK juga menyebut bahwa sebelum Arief mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan Ketua Umum PA GMNI, ia telah meminta izin terlebih dahulu kepada Dewan Etik dan telah dijawab melalui surat Nomor 09/DEHK/U.02/V/2021 yang pada pokoknya memperkenankan Arief mencalonkan diri menjadi ketua umum.
Selain itu, di dalam dalil pelapor disebutkan bahwa Arief yang dilantik oleh Megawati Soekarno Putri, menimbulkan kesan adanya afiliasi antara PA GMNI dengan PDIP.
Dalil tersebut, kata Ridwan, telah dibantah oleh Arief yang menyatakan bahwa status Megawati ketika melantik adalah dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pembina PA GMNI.
MKMK berpendapat, sepanjang tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan sebaliknya, tidak cukup alasan untuk menyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap Sapta Karsa Hutama.
“Dengan kata lain, kedudukan Hakim Terlapor sebagai Ketua Umum PA GMNI bukanlah merupakan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana yang didalilkan oleh para pelapor,” ujar Ridwan.
AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Anwar Usman Langgar Etik Cuma Disanksi MKMK Teguran Tertulis, Pelapor Tak Puas