Dandhy Dwi Laksono Menilai Dirty Vote Berhasil Bangun Kesadaran Masyarakat atas Proses Politik
Reporter
Tempo.co
Editor
Kukuh S. Wibowo
Kamis, 22 Februari 2024 06:56 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Produser dan sutradara film dokumenter Dirty Vote Dandhy Dwi Laksono mengatakan, berhasil tidaknya film tersebut tergantung pada apa tafsirnya. Namun yang paling valid menjawab, kata dia, diukur dari niat yang membikin film.
"Cuma si pembuat film yang bisa memutuskan Dirty Vote ini berhasil atau tidak,” kata Dandhy Dwi Laksono pada wartawan seusasi menjadi pembicara pada kegiatan nonton bareng dan diskusi Dirty Vote di Aula Benediktus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Rabu sore, 21 Februari 2024.
Sebelumnya Dandhy juga merespons peserta diskusi yang mempertanyakan keberhasilan film tersebut menjelang Pemilu 14 Februari 2024 lalu bila ternyata suara pasangan calon yang didukung Presiden Joko Widodo malah mayoritas.
Menurut Dandhy, jika orang lain menafsirkan tujuan pembuatan film itu hanya untuk menggerus suara pasangan calon tertentu, dan ternyata dari hasil perhitungannya justru paling banyak, itu hak orang yang menafsirkan Dirty Vote. “Tapi aneh saja jika ada yang beranggapan begitu, itu artinya mereka berteori sendiri lalu dijawab-jawab sendiri,” tutur Dandhy.
Bagi Dandhy, ukuran keberhasilan Dirty Vote ialah saat masyarakat terus membicarakan film tersebut, follower di media sosial terus bertambah setiap hari, serta 35 kota secara serentak mengundang sutradara dan pengisi film untuk berdiskusi.
“Sepertinya semua sepakat bahwa film tersebut bukan hanya untuk 14 Februari 2024 saja. Film ini enggak ada hubungannya dengan quick count dan real count, film ini melampaui itu semua,” ujar dia.
Dandhy melihat Dirty Vote justru makin menambah rasa percaya diri publik bahwa hasil pemilu bukan sesuatu yang tak bisa dipertanyakan. Publik jadi punya intensitas lebih untuk menerima atau tidak menerima hasil pemilu.
"Dari sisi itu Dirty Vote menjadi energi baru bagi publik untuk tetap kritis dengan proses pemilu, bahkan lebih jauh dengan proses politik. Jangan-jangan kalau tidak ada film ini orang menganggap hasil real count dan quick count hanya sebuah takdir, dan partai politik enggak malu-malu lagi masuk Istana untuk minta jatah menteri sekian jumlahnya,” tutur Dandhy,
Salah seorang pengisi Dirty Vote, Feri Amsari mengaku persekusi terhadapnya setelah film itu beredar di masyarakat tentu ada, namun akademikus Universitas Andalas Padang itu santai saja,
Feri misalnya, mengatakan bahwa telepon genggam dia, Bivitri Susanti dan Zainal Arifin Mochtar juga ada upaya mengintersep ke email dan akun Telegram. Namun ia tak menganggap hal itu sebagai ancaman. “Saya anggap biasa saja, ini konseksuensi atas beredarnya film ini,” kata Feri.
Ihwal pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahwa Dirty Vote hanya opini, Feri berujar bahwa sampai saat ini tidak ada yang membantah substansi film tersebut. Pihak yang tak suka, kata dia, hanya menyerang personal dirinya, Zainal, Bivitri dan Dhandy,
"Saya dianggap PKS, Dandhy PKI, Uceng (Zainal Arifin Mochtar) PDIP, Bivitri NasDem. Kami diserang secara personal, dan itu salah semua. Mereka tak membantah substansi materi Dirty Vote,” kata Feri.
Pihak luar, kata Feri, juga menyinggung-nyinggung siapa yang mendanai pembuatan Dirty Vote. Menurut Feri, jika dia menjawab bahwa biaya pembuatan film itu patungan, penuduh tetap tak akan percaya.
“Kalau kami ceritakan bagaimana perjalanan kami menuju Surabaya ini tidur di rest area, tidur di rumah teman sewaktu di Malang (sebelum nobar di Surabaya, paginya dilaksanakan kegiatan yang sama di Malang), Pak Jenderal Tito Karnavian tentu tak percaya,” kata Feri.
Menurut Feri, selama orang yang tak suka itu tak mampu membantah substansi film, ia dan kawan-kawan percaya diri bahwa apa yang disampaikan tak keliru. “Minimal memberi pelajaran pada para politikus bahwa perbuatan anda kami ketahui,” kata Feri Amsari.
Pilihan Editor: Tito Karnavian Tanggapi Film Dirty Vote yang Singgung Pemekaran Provinsi di Papua untuk Pilpres