Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Sidang Perdana Tragedi Kanjuruhan Penuh Kejanggalan
Reporter
Mirza Bagaskara
Editor
Juli Hantoro
Senin, 23 Januari 2023 16:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil menyebut pelaksanaan persidangan perdana tragedi Kanjuruhan penuh dengan kejanggalan. Koalisi menilai sidang tersebut dilaksanakan secara tidak transparan.
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Rivanlee Anandar mengatakan pihaknya mencatat ada beberapa hal yang dinilai ganjil dalam persidangan perdana tersebut. Pertama, kata dia, adalah adanya pembatasan akses untuk menyaksikan secara langsung jalannya persidangan tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya.
“Sebab, menurut Pasal 13 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, mewajibkan Majelis Hakim dalam setiap pemeriksaan di pengadilan dilakukan secara terbuka,” kata dia pada Senin 23 Januari 2023.
Rivan melanjutkan dalam persidangan perdana tersebut, PN Surabaya membatasi akses bagi keluarga koban beserta media untuk mengawasi jalaannya persidangan. Sehingga, kata dia, pembatasan tersebut bisa jadi adanya indikasi untuk menutupi proses hukum yang sedang berjalan.
“Oleh karena itu lah kami membawa masalah ini kepada Komisi Yudisial untuk ditindaklanjuti oleh mereka,” ujar aktivis kemanusiaan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) tersebut.
Selanjutnya, Rivan menyebut hal yang dinilai ganjil oleh Koalisi adalah para terdakwa dihadirkan secara daring. Dengan merujuk ketentuan pada Pasal 154 ayat (4) KUHAP, dia mengatakan terdakwa wajib hadir pada persidangan pemeriksaan di pengadilan. Sehingga, Rivan menilai seharusnya terdakwa dihadirkan langsung di persidangan.
“Terlebih lagi pemerintah telah mencabut kebijakan pemberlakuan dan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM,” kata Rivan.
Rivan menambahkan keganjilan lainnya dalam proses persidangan tersebut adalah mengizinkan anggota kepolisian sebagai penasihat hukum dalam persidangan pidana. Menurut dia hal tersebut tidak diperbolehkan karena dapat merusak dan melecehkan sistem regulasi yang berlaku.
“Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 16 UU No. 2Tahun 2002 Tentang Kepolisian negara Republik Indonesia yang mana dalam proses pidana, anggota kepolisian tidak memiliki kewenangan sebagai pendamping dalam persidangan pidana,” ujar dia melalui keterangan tertulis.
Berangkat dari hal tersebut, Rivan mengatakan pihaknya mendorong Komisi Yudisial agar melakukan pemantauan dan pengawasan selama berjalannya proses sidang. Selain itu, kata dia, Komisi Yudisial harus berani mengambil jalur hukum bila ada indikasi pelanggaran kode etik selama proses persidangan berlangsung.
“Kami juga mendorong PN Surabaya agar membuka akses persidangan seluas-luasnya,” kata Rivan.
Tragedi Kanjuruhan yang merenggut 134 nyawa terjadi pasca laga BRI Liga 1 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022. Peristiwa itu bermula ketika sejumlah Aremania, sebutan untuk suporter Arema FC, merangsek ke dalam lapangan pasca pertandingan.
Polisi lantas merespons dengan melepaskan tembakan gas air mata ke arah lapangan dan tribun. Ribuan suporter yang panik lantas berdesak-desakan menuju pintu keluar. Sayangnya, menurut penuturan beberapa suporter, sejumlah pintu dalam kondisi terkunci. Alhasil, para suporter tersebut saling berhimpitan dan mengakibatkan total 135 korban jiwa ratusan orang lainnya mengalami luka-luka.
Polisi kemudian menetapkan enam tersangka Tragedi Kanjuruhan. Mereka adalah Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, Kabag Ops Polres Malang Wahyu SS, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.
Baca juga: Sidang Tragedi Kanjuruhan, Jaksa Sebut Komandan Brimob Perintahkan Penembakan Gas Air Mata