Setara Institute Sebut Kasus Penolakan dan Perusakan Tempat Ibadah Masih Tinggi
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Eko Ari Wibowo
Rabu, 16 November 2022 12:29 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Setara Institute menyatakan pada momen Hari Toleransi Internasional Rabu 16 November 2022 bahwa kasus penolakan dan perusakan tempat ibadah masih banyak terjadi.
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan mengungkapkan salah satu isu yang harus dicermati pada momen ini adalah mengenai gangguan terhadap rumah ibadah.
Gangguan ini mencakup penolakan pembangunan rumah ibadah, gangguan saat pembangunan rumah ibadah, penyegelan tempat ibadah, gangguan saat ibadah di rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, dan penyerangan terhadap orang yang terjadi di tempat ibadah/rumah ibadah yang dilakukan baik oleh aktor non-negara dan/atau negara.
"Dalam catatan SETARA Institute, persekusi terhadap minoritas di Indonesia terjadi dalam beragam wujud. Salah satu yang paling sering terjadi adalah gangguan rumah ibadah," kata Halili dalam keterangan tertulisnya, Rabu 16 November 2022.
Kasus penolakan dan perusakan tempat ibadah tinggi
Halili menjelaskan merujuk pada data longitudinal SETARA Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan atau KBB, 2007-2022, perusakan tempat ibadah dan penolakan pendirian tempat ibadah menempati top 5 dalam kategori jenis pelanggaran KBB terbanyak. Pelanggaran tersebut berjumlah 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan.
Data terbaru SETARA Institute dari Januari 2022 hingga akhir September 2022 menunjukkan, terdapat setidaknya 32 peristiwa gangguan rumah ibadah. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan data annual pada kategori yang sama dalam lima tahun terakhir, yaitu 44 peristiwa (2021), 24 peristiwa (2020), 31 peristiwa (2019), 20 peristiwa (2018), dan 17 peristiwa (2017).
"Pada tahun 2022 sejauh ini, masjid mengalami gangguan terbanyak, yaitu 15 peristiwa, diikuti dengan gereja sebanyak 13 peristiwa. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sebagian besar masjid yang menjadi objek gangguan adalah Masjid Ahmadiyah dan masjid-masjid lain yang ‘berbeda’ dari kelompok muslim arus utama (mainstream)," kata Halili.
Pada data yang dimiliki Setara Institute, juga menunjukkan meningkatnya tren intoleransi terhadap keberagaman intraagama. Dalam kasus penolakan dan gangguan terhadap masjid, mayoritas gangguan datang dari sesama muslim dan terjadi di wilayah mayoritas Islam.
Gangguan terhadap tempat ibadah umat Budha yaitu vihara juga meningkat. Hingga akhir September 2022, terdapat 4 peristiwa gangguan terhadap vihara. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing hanya 1 kasus gangguan terhadap vihara.
"Dari berbagai kasus gangguan rumah ibadah, SETARA Institute menyoroti pola yang masih terus dilanggengkan, yaitu penggunaan alasan administrasi untuk melakukan restriksi dan persekusi. Ketidaklengkapan persyaratan pendirian
Berkenaan dengan kasus-kasus gangguan terhadap rumah ibadah dan peribadatan," ujarnya.
Selanjutnya: dorong permudah syarat pendirian rumah ibadah...
<!--more-->
Permudah Syarat Pendirian Rumah Ibadah
Halili mengungkapkan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri (KemendagrI) hendaknya mempermudah syarat pendirian rumah ibadah. Hal itu seperti tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.
"Mengingat kecenderungan interpretasi yang restriktif terhadap syarat pembangunan rumah ibadah di beberapa daerah, formula 90/60 perlu ditinjau ulang pada aspek substansi dan implementasinya," tuturnya.
Halili menjelaskan interpretasi restriktif terkait syarat 60 orang pendukung pendirian rumah ibadah harus berasal dari yang berbeda agama, nyata-nyata memberikan ruang bagi kelompok eksternal untuk mengintervensi dan membatasi hak konstitusional atas peribadatan yang dijamin secara tegas dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI tahun 1945.
Pemerintah Daerah dalam hal ini, menurut Halili, juga perlu agar menginisiasi regulasi yang mempermudah syarat pendirian rumah ibadah dan menekankan peran FKUB dalam fasilitasi dialog dan resolusi konfliknmengenai peribadatan dan gangguan atas rumah ibadah.
Dalam konteks ini, inisiatif dalam regulasi mesti diperluas, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang. Melalui Peraturan Walikota No 79 Tahun 2020 tentang Pedoman Fasilitasi Pembangunan Rumah Ibadah, Pemkot Kupang menjabarkan peran-peran FKUB dalam fasilitasi, mediasi, dan resolusi konflik jika terdapat penolakan.
Perlunya Dialog
Halili menyampaikan mengenai meningkatnya tren intoleransi terhadap keberagaman intraagama, pemerintah tidak hanya perlu menggencarkan dialog antariman, tetapi juga semakin mengintensifkan dialog intraiman.
"Dialog intraiman tersebut diharapkan dapat meningkatkan literasi akan keberagaman intraagama, meningkatkan kohesi sosial di tengah perbedaan keberagamaan di dalam dan antar agama, serta mewujudkan kerukunan di dalam dan antar umat beragama," ujarnya.
Baca: Kementerian Dalam Negeri Minta Polisi Usut Perusakan Masjid Ahmadiyah Sintang