Tito Karnavian Dinilai Abaikan Tindakan Korektif Soal Penunjukan Penjabat Daerah dari ORI
Reporter
Eka Yudha Saputra
Editor
Juli Hantoro
Jumat, 2 September 2022 17:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengecam Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, yang mengabaikan dan tidak menindaklanjuti tindakan korektif yang telah diberikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Sebelumnya pada 19 Juli 2022, ORI berdasarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) atas laporan dugaan maladministrasi dengan Nomor Registrasi: 0583/LM/VI/2022/JKT yang dilaporkan oleh KontraS, ICW dan Perludem, menyatakan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia telah terbukti melakukan maladministrasi dalam prosedur pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dan mengabaikan kewajiban hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan hal tersebut, ORI memberikan tiga tindakan korektif kepada Mendagri. Pertama, menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan pihak pelapor. Kedua, meninjau kembali pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dari unsur TNI aktif.
Ketiga, menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah. Mendagri diberi tenggat dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melaksanakan tindakan korektif tersebut.
“Namun hingga hari ini, Mendagri tidak melaksanakan Rekomendasi Sementara Ombudsman dalam LAHP dan tidak menunjukan itikad baik hingga habisnya tenggat waktu tersebut,” kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Jumat, 2 September 2022.
Padahal, lanjut Fatia, tindakan korektif yang dikeluarkan ORI penting untuk mendorong proses perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, bersih, dan terbuka sesuai dengan prinsip Good Governance and Smart Government.
Tindakan Korektif ORI Mengikat Secara Hukum
Selain itu, pemberian tindakan korektif oleh ORI bersifat mengikat secara hukum dan wajib dijalankan dalam rentang waktu 30 hari berdasarkan Pasal 16 Peraturan ORI Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tata Cara Investigasi atas Prakarsa Sendiri.
Sehingga tidak taatnya Mendagri atas hal tersebut menunjukan Mendagri melakukan pembangkangan, tidak memahami peraturan perundang-undangan, etika antar lembaga negara, dan mencerminkan sikap penyelenggara negara yang amat tidak patut.
Terlebih, kedudukan Menteri Dalam Negeri,secara eksplisit disebut dalam nomenklatur Undang-Undang Dasar 1945 dan memiliki peranan vital dalam penyelenggaraan negara. Tak hanya itu, dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menegaskan bahwa kementerian yang membidangi urusan dalam negeri sebagaimana disebut dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakannya di bidangnya.
<!--more-->
Dalam konteks ini, telah terjadi kekosongan hukum mengenai peraturan pengangkatan hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah yang merupakan urusan pemerintahan yang fungsinya berada di bawah kewenangan Kementerian Dalam Negeri.
“Sehingga tidak ada alasan apapun bagi Mendagri selain melaksanakan tindakan korektif ORI,” ujar Fatia.
Berdasarkan catatan KontraS, ICW dan Perludem pada periode Mei-Juli 2022 setidaknya terdapat delapan penunjukan sementara Penjabat Kepala Daerah yang dilakukan oleh Mendagri mulai dari Gubernur hingga Bupati/Walikota yang habis masa jabatannya.
Salah satunya adalah perwira tinggi aktif dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal itu sangat kontraproduktif dengan semangat reformasi untuk memisahkan ABRI dari urusan sipil.
Di sisi lain, seluruh rangkaian proses penunjukan yang dilakukan oleh Mendagri tersebut dilakukan tanpa dasar aturan pelaksana yang telah diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga menyebabkan minimnya akuntabilitas serta sarat akan potensi konflik kepentingan. Minimnya pelibatan masyarakat dalam prosesnya merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap Hak Atas Partisipasi masyarakat yang dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
Secara tegas Pasal 86 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah menyebutkan bahwa pengaturan teknis berkaitan dengan Penjabat kepala daerah harus diatur menggunakan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, Kementerian Dalam Negeri justru bersikukuh untuk menolak mandat peraturan perundang-undangan tersebut dengan menggunakan payung hukum berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Atas hal tersebut sebagaimana telah dijabarkan di atas, KontraS, ICW dan Perludem mendesak pemerintah untuk segera menyiapkan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
“Hal ini menjadi penting sebagai bagian dari mandat Mahkamah Konstitusi dan Rekomendasi Ombudsman RI,” katanya.
Kedua, mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden menegur atau bahkan mencopot Menteri Dalam Negeri karena tidak patuh terhadap peraturan perundang-undangan, dan mengabaikan kesempatan untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah sebagaimana disampaikan Ombudsman RI.
“Kami juga mendesak Mendagri untuk melakukan evaluasi penempatan anggota TNI-Polri aktif sebagai Penjabat Kepala Daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru,” katanya.
Baca juga: Ombudsman Tegaskan Aturan Pj Kepala Daerah Harus Lewat PP