Aktivis Perempuan Kelompok Cipayung Maluku Soroti UU TPKS dalam 7 Poin
Reporter
Tempo.co
Editor
Dwi Arjanto
Selasa, 19 April 2022 21:44 WIB
"Pelecehan seksual wujudnya tindakan diraba, disentuh, didekati secara
agresif, dintip, gestur vulgar dan lainnya. Hal ini kadang membuat korban malu dan mengucilkan dirinya dari ruang publik," kata Ramla kepada dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, korban pelecehan seksual semestinya mendapatkan layanan khusus berupa pemulihan mental. Dan para pelaku perundungan kekerasan seksual diadili sesuai undang-undang yang berlaku.
"Korban pantas dilindungi dan para pelaku dapat beroleh hukuman sesuai
undang-undang yang berlaku" kata dia.
Berikut tujuh poin penting yang diamati para aktivis perempuan Kelompok
Cipayung Ambon Maluku terhadap Undang-Undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual disingkat UU TPKS:
1. Relasi kuasa, yang menjadi salah satu faktor terjadinya kasus kekerasan
seksual akhirnya dapat dihitung menjadi pidana.
2. Pelecehan nonfisik, dan juga kekerasan seksual berbasis elektronik dapat dijatuhi hukuman.
3. Polisi tidak boleh menolak pengaduan perkara kekerasan seksual atas
alasan apapun.
4. Kekerasan seksual di dalam dan di luar perkawinan dapat dijatuhi
hukuman.
5. Mengawinkan korban dengan pelaku pemerkosaan, serta perkawinan
anak masuk dalam tindak pidana.
6. Hukuman untuk pelaku tidak hanya penjara dan denda, tapi juga berupa ganti rugi terhadap korban, pencabutan hak asuh, identitasnya diumumkan, sampai kekayaannya dirampas.
7. Korban berhak mendapatkan pendamping dan layanan pemulihan.
Tujuh poin penting ini menurut aktifis perempuan Cipayung Ambon perlu di
pertegas.
UU TPKS adalah undang-undang Indonesia mengenai kekerasan seksual, meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.
IDRIS BOUFAKAR
Baca juga: Inilah 9 Jenis Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS