Banjir Kritik Setelah Pemerintah Melarang Aktivitas FPI
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Aditya Budiman
Jumat, 1 Januari 2021 08:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan pemerintah yang melarang kegiatan Front Pembela Islam (FPI) terus menuai kritikan dari sejumlah organisasi. Keputusan ini sebelumnya diumumkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md pada Rabu, 30 Desember 2020.
Selain melarang beraktivitas, pemerintah juga akan menghentikan segala kegiatan yang dilakukan FPI karena tidak punya legal standing. "Baik sebagai ormas maupun organisasi biasa sejak hari ini," kata Mahfud.
Terakhir, pemerintah melarang penggunaan simbol dan atribut FPI pun. Salah satunya karena FPI sejak 21 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas. Sebab, FPI tidak memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang habis masa berlaku.
Tempo mencatat sejumlah kritikan yang muncul usai pengumuman yang dilakukan oleh Menko Mahfud Md, berikut di antaranya:
1. Menggerus Kebebasan Sipil
Salah satu kritikan paling awal datang dari Amnesty International Indonesia. Mereka menilai keputusan pemerintah ini semakin menggerus kebebasan sipil.
"Keputusan ini berpotensi mendiskriminasi dan melanggar hak berserikat dan berekspresi, sehingga semakin menggerus kebebasan sipil di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
2. Efek UU Ormas Baru
Usman lalu menyinggung Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada 24 Oktober 2017, DPR menerima Perpu ini akan jadilah UU Ormas yang baru.
Akan tetapi, UU Ormas yang baru ini secara signifikan memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas. Hal ini dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan. "UU ini bermasalah dan harus diubah," kata Usman.
Menurut hukum internasional, kata dia, sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan. "Yang independen dan netral,"ujarnya.
3. Pembubaran oleh Pengadilan
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai keputusan pemerintah terhadap FPI ini memang bisa dibenarkan secara hukum positif. Namun dalam konteks ini, kata dia, konstruksi hukum UU Ormas tetap perlu disalahkan karena memungkinkan adanya pembatasan berorganisasi.
UU Ormas ini, kata Bivitri, membuka peluang pelarangan dan pembubaran dengan adanya SKT dan mekanisme pembubaran tanpa pengadilan. "Idealnya, kembali ke prinsip. Pembubaran bisa dilakukan melalui pengadilan, bukan oleh pemerintah," ujar Bivitri.
<!--more-->
4. Gaya Orde Baru
Bukan hanya Usman dan Bivitri, tapi Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, pun menyoroti UU Ormas, di balik aksi pelarangan aktivitas FPI. Menurut Feri, dasar hukum FPI dilarang UU Ormas ini yang bermasalah sejak awal.
"UU tersebut menghapus mekanisme pembubaran ormas melalui peradilan yang sesungguhnya diatur dalam UU Ormas lama. UU Ormas baru yang dibentuk dari Perpu Presiden Jokowi ini bermasalah," ujar Feri saat dihubungi Tempo, Rabu, 30 Desember 2020.
UU Ormas tersebut, ujar Feri, juga bertentangan dengan semangat reformasi yang melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. "Gaya pembubaran ormas seperti ini khas Orde Baru. Presiden Gus Dur menentang betul cara-cara pembubaran ormas seperti ini," kata dia.
5. Menentang Prinsip Negara Hukum
Selanjutnya, kritikan juga datang dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka yaitu seperti KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), LBH Masyarakat, hingga YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Selama ini berbagai organisasi sipil tersebut memang turut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Menurut mereka, kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum.
Sehingga, KontraS dan kawan-kawan menilai keputusan pemerintah ini bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. "Khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat," demikian tertulis dalam keterangan resmi.
6. Putusan MK
Organisasi masyarakat sipil juga menyatakan penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas. Namun kenyataannya, baik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.
Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, MK memang menyinggung soal ini. Berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, tulis MK, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang bisa tidak mendapatkan pelayanan dari negara.
Tetapi, MK menyebut negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang. "Negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum."
7. Tidak Memiliki Dasar Hukum
Tak hanya secara substansi, tapi organisasi masyarakat sipil ini juga menyoroti alasan di balik larangan. Contohnya larangan penggunaan simbol dan atribut FPI karena tidak memperpanjang SKT. "Ini tidak memiliki dasar hukum," tulis KontraS.
Lantaran, Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.
FAJAR PEBRIANTO