RUU PKS Masuk Prolegnas 2020, 5 Alasan Aturan Itu Harus Disahkan
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 17 Januari 2020 07:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui 50 Rancangan Undang-undang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020. Salah satunya adalah Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Berikut beberapa alasan kenapa RUU PKS harus segera disahkan:
1. Menekan tindak kekerasan seksual di Indonesia
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise mendesak DPR untuk segera mendesak pengesahan beleid tersebut. Yohana mengatakan RUU ini sebenarnya bertujuan untuk menekan tindak kekerasan seksual di Indonesia khususnya yang dialami perempuan dan anak-anak.
Menyitir hasil survei bersama Badan Pusat Statistik (BPS), Yohana mengatakan satu dari tiga perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Kemudian, satu dari tujuh anak baik laki-laki maupun perempuan telah mengalami kekerasan baik seksual, fisik, psikis, termasuk penelantaran anak.
"Oleh karena itu, dengan adanya RUU PKS ini, ke depan tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia," kata dia, 8 Oktober 2019.
2. Penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengatakan RUU PKS ini penting sebagai bentuk kehadiran negara dalam menghapus diskriminasi terhadap perempuan. Mengingat, korban kekerasan seksual paling tinggi adalah perempuan.
Selain menghilangkan diskriminasi, menurut Mahfud, RUU PKS juga akan mewujudkan perlindungan bagi perempuan serta menjawab rasa keadilan yang selama ini didambakan oleh masyarakat.
"RUU PKS diharapkan bisa memutus diskriminasi terhadap perempuan karena RUU tersebut bisa mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual, memulihkan korban, serta meletakkan kewajiban negara untuk melakukan penghapusan kekerasan seksual," ujarnya, Kamis, 19 Desember 2019.
3. KUHP belum mengakomodir secara utuh kekerasan seksual
Komisioner Komisi Nasional Perempuan Azriana mengatakan mandeknya pembahasan RUU PKS memperlihatkan rendahnya kepedulian anggota dewan terhadap ribuan korban kekerasan seksual di Tanah Air.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sejak RUU ditetapkan sebagai insiatif DPR pada 2016, hingga Desember 2018 sebanyak 16.943 perempuan telah menjadi korban kekerasan seksual.
Data statistik kriminal BPS pada 2018 memperlihatkan rata-rata setiap tahunnya 5.327 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia. Forum Pengada Layanan (FPL) menemukan, hanya 40 persen kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Polisi. Bahkan dari 40 persen tersebut hanya 10 persennya yang berlanjut ke pengadilan.
Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP menjadi penyebab utama 90 persen dari kasus kekerasan seksual tidak dapat diteruskan ke pengadilan.
4. Kasus kekerasan seksual terus meningkat
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat setiap dua jam, ada 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan. "Tahun 2012, kita sudah sampaikan ke publik dalam 10 tahun, 2001 hingga 2011 ternyata di Indonesia itu setiap hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan, Azriana, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat, 23 November 2018.
Menurut Azriana, data tersebut sempat digunakan untuk mendesak Dewan Perwakilan Rakyat agar mengusulkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai inisiatif DPR. Saat ini, RUU PKS masih mandek pembahasannya.
Padahal, kata Azriana, sejak 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Lembaga itu mencatat pada 2014, ada 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus dan di 2016 menjadi 5.785 kasus.
5. Belum ada aturan yang mengakomodir korban
Ketua Indonesia Feminist Lawyer Club Nur Setia Alam Prawiranegara sempat mengatakan banyak hak-hak korban kekerasan seksual yang ditanganinya tidak terwakili dalam undang-undang. Misalnya hak untuk aborsi bagi perempuan korban perkosaan.
"Kalau aborsi dia sadar melakukan hubungan seksual kemudian bunuh anak itu pidana. Tapi kalau orang ini diperkosa, dia tidak menghendaki, dia punya hak si perempuan ini untuk aborsi," kata Alam.
Ke depannya, selain harus memuat 9 bentuk kekerasan seksual, RUU PKS juga diharapkan memperhatikan hak-hak korban dari hulu ke hilir. Misalnya, pendampingan hukum, psikologis, medis, psikososial sampai pemulihan.