TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komnas Perempuan, Budi Wahyuni mengatakan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS selama ini menuai pro kontra lantaran dianggap dibuat atas dasar paham feminisme. Padahal menurut Budi, kaum feminis adalah orang yang peduli dan melakukan perubahan terhadap ketertindasan terhadap perempuan.
"Feminis bisa laki-laki, bisa perempuan. Karena kata-katanya feminis aja, makanya bias, karena seolah-olah itu antah berantah paham dari luar negeri," kata Budi dalam diskusi bertajuk 'RUU PKS Berfaedahkah untuk Perempuan Indonesia?' di Perpustakaan Nasional, Jakarta pada Sabtu, 5 Oktober 2019.
Budi menjelaskan, baginya, contoh seorang feminis dapat dilihat dari sosok Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, Nabi Muhammad memperjuangkan dan membaskan ketertindasan perempuan di zaman Jahiliyah. "Nabi Muhammad itu mengentaskan," katanya.
Hingga saat ini, pro kontra RUU PKS masih terus bergulir. Menurut Budi, salah satunya disebabkan karena masyarakat Indonesia banyak yang alergi dengan paham feminisme. "Teori hukumnya legal feminism itu kan memang di ranah menempatkan perempuan dibebaskan dari ketertindasan. Termasuk kekerasan seksual," katanya.
Sebelumnya, Komisi Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia atau MUI Pusat, Wido Supraha menilai naskah akademik yang digunakan dalam RUU PKS berbasis paham feminisme. "Ini teori feminisme. Anda harus belajar feminisme itu apa, latar belakangnya apa. Karena itu ruh RUU PKS," ujarnya dalam panel diskusi yang sama dengan Budi, Sabtu siang.
Dia mengatakan, turunan paham feminisme itulah yang tak berlandaskan ketuhanan Yang Maha Esa dan agama. "Kami enggak ingin turun ke detail, tapi melihat secara filosofi. Dan agama dengan feminisme radikal berseberangan. Kita pancasialis. I'm standing in pancasila side. What is your side?" katanya.