Eddy Sindoro Didakwa Menyuap Panitera Rp 150 Juta dan US$ 50 Ribu
Reporter
Taufiq Siddiq
Editor
Amirullah
Kamis, 27 Desember 2018 16:53 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mendakwa mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro telah memberikan hadiah atau janji kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, senilai Rp 150 juta dan US$ 50 ribu. Dugaan suap ini terkait pengurusan tiga perkara yang melibatkan perusahaan-perusahaan di bawah Lippo Group.
Baca: Eddy Sindoro Segera Jalani Sidang Kasus Suap Panitera PN Jakpus
"Bahwa terdakwa Eddy Sindoro telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu memberi sejumlah uang Rp 150 juta dan US$ 50 ribu, terhadap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution," ujar jaksa KPK, Abdul Basir, saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Kamis 27 Desember 2018.
Abdul mengatakan uang tersebut berkaitan dengan sejumlah proses hukum anak perusahaan Lippo Grup. Pemberian pertama senilai Rp 100 juta kepada Edy Nasution melalui Wresti Kristian Hesti bagian legal Lippo. Uang tersebut diduga berkaitan dengan aanmening atau eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) yang dinyatakan oleh pengadilan Singapur (SIAC) wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT KYMCO.
Abdul menyebutkan pada 14 Desember 2015, Wresti menemui Edy Nasution di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penundaan eksekusi PT MTP. Edy pun saat itu menyetujui dengan imbalan uang Rp 100 juta. Permintaan Edy pun langsung disampaikan ke Eddy Sindoro.
Baca: Staf Lucas Sebut Telah Mengarang Cerita saat Diperiksa KPK
Pada tanggal 18 Desember 2015, bertempat di basement salah satu hotel di Pasar Senen, Jakarta Pusat, Edy Nasution menerima uang Rp 100 juta dari Wawan dan Doddy yang merupakan orang suruhan Wresti.
Abdul melanjutkan untuk pemberian kedua yaitu US$ 50 ribu dan Rp 50 juta kepada Edy Nasution berkaitan dengan perkara niaga peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL) salah satu anak perusahaan Lippo Group.
Abdul mengatakan berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Dan atas putusan kasasi tersebut, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali hingga batas waktu 180 hari.
Namun, kata Abdul, pada pertengahan Februari 2016 terdakwa memerintahkan Wresti untuk mengajukan PK dengan alasan untuk menjaga kredibilitas PT AAL di Hongkong. Wresti pun pada 16 Februari 2016 menemui Edy Nasution di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan meminta Edy menerima peninjauan kembali PT AAL yang masa pendaftarannya sudah lewat batas waktu.
Abdul mengatakan, Edy saat itu menolak permintaan Wresti karena batas peninjauan kembali sudah lewat batas. Namun saat Wresti menjanjikan uang, Edy Nasution menyetujui permintaan tersebut dengan kesepakatan Rp 500 juta. "Permintaan tersebut kembali dilaporkan ke terdakwa," ujarnya.
Baca: KPK Limpahkan Berkas Eddy Sindoro ke Pengadilan
Abdul menyebutkan pada 25 Februari 2016, Edy Nasution menerima uang US$ 50 ribu dari Agustriadi, orang suruhan Wresti. Setelah itu, Edy pun mengurus proses peninjuan kembali PT AAL.
Pada 2 Maret 2016, Abdul melanjutkan, PT AAL mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diterima oleh Edy Nasution. Kemudian pada tanggal 30 Maret berkas PK tersebut ke Mahkamah Agung. "Setelah itu pada 20 April setelah PK terdaftar, Edy Nasution kembali menerima uang Rp 50 juta," ujarnya.
Atas perbuatannya, Eddy Sindoro didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana.