Pelantikan M. Iriawan Dikritik Fadli Zon, Begini Reaksi PDIP
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Rina Widiastuti
Rabu, 20 Juni 2018 10:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tak tinggal diam mendengar berbagai kritik yang datang terhadap kebijakan pemerintah melantik Komisaris Jenderal M. Iriawan atau Iwan Bule sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada Senin, 18 Juni 2018.
Bendahara Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Alex Indra Lukman mengatakan, jika merujuk aturan, pengangkatan itu tidak satu pun melanggar undang-undang. "Pengangkatan itu sesuai peraturan. Ada kesalahan dalam menafsirkan undang-undang," ujar Alex Lukman dalam keterangan tertulisnya, Selasa malam, 19 Juni 2018.
Baca: Soal M. Iriawan Jadi Penjabat Gubernur, Ini Pendapat Refly Harun
Pernyataan tersebut diungkapkan Alex membalas salah satu kritik keras yang datang dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menyatakan pelantikan Iwan Bule cacat secara formil maupun materiil.
Fadli Zon menilai pelantikan Iwan Bule cacat secara formil karena sesudah ditarik ke Menko Polhukam, Iwan kemudian dimutasi ke Lemhanas dan menjadi Sekretaris Utama. Sebuah jabatan tinggi madya di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) seperti halnya model pengangkatan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat pada 2016. "Sejak awal pemerintah memang sangat menginginkan M. Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat," bunyi kritik Fadli Zon.
Fadli Zon juga menilai pemerintah menabrak sejumlah aturan, salah satunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, khususnya Pasal 28 ayat 3 yang menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Baca: Polemik M. Iriawan Jadi Pj Gubenur, Ngabalin Bandingkan Era SBY
Menurut Alex, Iriawan yang diangkat setelah tak lagi menjabat di struktural Mabes Polri. Sehingga tak melangkahi aturan. Sejak Maret 2018, M. Iriawan yang pernah menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya dan Jawa Barat, diangkat sebagai Sekretaris Utama Lemhanas.
"Ini yang salah tafsir. Bapak Iriawan dilantik bukan dalam posisi sebagai anggota Polri yang bekerja di institusi Polri, namun di Lemhanas. Untuk itu bagi beliau berlaku pengecualian sesuai PP Nomor 21 Tahun 2002," ujar Alex
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, ujar dia, jelas dituliskan aturannya. Jika ditelusuri, pengangkatan Komjen Iriawan sama persis dengan pengangkatan Irjen Pol Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur Sulbar tahun 2017. Kala itu, lanjut Alex, Carlo Brix Tewu adalah polisi aktif tapi mengabdi di luar institusi Polri, tepatnya sebagai Staf Ahli Menkopolhukam alias pejabat tinggi madya.
Baca: Ngabalin Sarankan DPR Batalkan Niat Ajukan Hak Angket M. Iriawan
Jika mengacu pada Pasal 201, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pillada, lanjut Alex, pejabat yang dapat diangkat sebagai Penjabat Gubernur adalah pejabat tinggi madya. "Jadi tak ada aturan yang dilabrak," ujar anggota Komisi V DPR RI itu.
Untuk itu, Alex berharap wacana Hak Angket di DPR tidak diteruskan, "Bila ada hal-hal yang ingin digali lebih dalam terkait keputusan tersebut maka dapat dilaksanakan dalam rapat kerja Komisi II bersama dengan Pemerintah.”
Adapun pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai, dari sisi hukum, UU Polri Pasal 28 ayat 3 tersebut memang masih diperdebatkan atau debatable. Pasal itu menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Namun, dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
"Jadi artinya, kalau ada izin Kapolri tidak masalah," ujarnya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 19 Juni 2018.
Baca: Jokowi Teken Pengangkatan Penjabat Gubernur Jabar Sebelum Lebaran
Selain itu, Refly melanjutkan, jabatan penjabat gubernur tidak permanen. "Saya menilai larangan menjabat selain Polri itu jabatan yang permanen. Jadi, bila dibutuhkan, sebenarnya enggak ada larangan bagi Polri untuk menjabat sebagai penjabat asalkan seizin Kapolri," ucapnya. "Dari perspektif hukum memang debatable, tapi masih bisa dibenarkan dari sisi hukum."
Dari perspektif sosial-politik, Refly menambahkan, mengangkat perwira tinggi Polri menjadi penjabat gubernur memang kurang bijak karena bisa memunculkan kontroversi dari masyarakat. "Memang lebih bagusnya pejabat dari non-kepolisian saja yang diangkat," tuturnya.