Ketua KPU Arief Budiman memberikan sambutan dalam acara Democracy Run saat car free day di Jakarta, 18 Maret 2018. Dalam Democracy Run, para peserta berlari sejauh 5 kilometer. TEMPO/Fakhri Hermasyah
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan lembaganya tetap mempertahankan larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislator. Ia tetap kukuh meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilu tidak setuju aturan tersebut dimasukan ke Peraturan KPU tentang pencalonan.
“Kami melihat korupsi itu menjadi bagian dari hal penting yang harus diselesaikan bersama. Jadi, KPU menginisiasi itu (larangan mantan narapidana menjadi caleg),” kata Arief di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu 23 Mei 2018.
Ia menuturkan rencana memasukan aturan itu ke PKPU menjadi perdebatan lantaran Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu tidak mengatur regulasi tersebut. Sebab dalam UU disebutkan bahwa mantan narapidana yang tidak boleh mencalonkan diri sebagai legislator adalah mantan narapidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak.
“Ada perdebatan dengan mekanisme peraturannya diletakkan di undang-undang, PKPU, kemudian kemarin usulan dibuatkan surat edaran. Segala macem itu kan (aturan) soal tafsir,” kata dia.
Arief melihat di banyak jenis pemilu, calon kepala daerah mesti membuat laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Bahkan, calon presiden dan wakil presiden juga diminta untuk membuat LHKPN tersebut.
Menurut Arief tujuan pembuatan LHKPN merupakan syarat untuk mencegah korupsi sejak awal. Selain itu, pasangan calon presiden juga diberi syarat tidak terlibat tindak pidana korupsi. “Nah, di dalam pemilu legislatif, klausul itu memang belum ada. Bikin LHKPN sebelum seseorang terpilih,” ujarnya.
Menurut dia, memang ada ruang kosong yang belum diatur di Undang-Undang Pemilu. Sedangkan KPU melihat di undang-undang lainnya semangat untuk mencegah dan memberantas korupsi terus didorong.
Misalnya, kata dia, di Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. “Cuma mungkin implementasinya tidak ditulis lansung di undang-undang ini."
Pemilu, ujar Arief, sebetulnya untuk hal-hal yang bersifat prinsip diberlakukan sama. Sehingga aturan tersebut dapat dimasukan ke dalam PKPU pencalonan. “Nah kenapa diatur di PKPU? Karena peluang KPU membuat regulasinya di PKPU. Tidak punya peluang mengatur di tempat lain,” katanya.
Ia berharap pada rapat konsultasi hari ini dengan DPR selesai. Setelah itu KPU akan merapikan rancangan PKPU pencalonan sesuai dengan pembahasan rapat konsultasi ini. "Apa-apa yang dalam pandangan KPU perlu disesuaikan dan dirapikan, ya kamu rapikan. Baru setelah itu kami kirim ke Kementerian Hukum dan HAM," ujarnya.