Terdakwa korupsi e-KTP, Setya Novanto bersama para tersangka korupsi dievakuasi petugas dari ruang pemeriksaan saat terjadi gempa, di gedung KPK, Jakarta, 23 Januari 2018. Menurut data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah terjadi gempa bumi berkekuatan 6,4 Magnitudo berpusat di Lebak, Banten dengan kedalaman 10 kilometer. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengatakan terdakwa yang mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC), termasuk Setya Novanto, tak boleh setengah-setengah memenuhi kewajibannya. Menurut Febri, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan untuk melihat keseriusan terdakwa bekerja sama dengan KPK.
"Kalau setengah-setengah, pasti tidak dikabulkan," katanya di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin, 29 Januari 2018.
Faktor yang dipertimbangkan KPK antara lain terdakwa mengakui perbuatannya atau tidak serta mengungkap tokoh lain yang memiliki peran lebih besar.
Menurut Febri, sejauh ini, belum ada informasi signifikan yang disampaikan mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut.
Setya, kata Febri, justru menyangkal keterangan saksi yang diungkap dalam persidangan. "Kita lihat sejauh mana itikad baiknya untuk secara serius menjadi JC," ujarnya.
Pengacara Setya, Maqdir Ismail, sebelumnya meminta KPK memberikan jaminan perlindungan kepada kliennya beserta keluarga. Jaminan yang dimaksud adalah perlindungan dari potensi ancaman atau pembalasan orang-orang yang namanya disebut Setya.
Karena itu, Maqdir berujar sebaiknya pimpinan KPK berbicara dengan mantan Ketua DPR itu mengenai JC. Hal itu untuk membuka titik terang perkara dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), yang menyeret Setya.
"Pembicaraan mengenai JC ini dengan mengikutsertakan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," ucap Maqdir.
Setya Novanto diduga berperan dalam meloloskan anggaran proyek e-KTP di DPR pada 2010 saat masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Dia didakwa menerima aliran dana US$ 7,3 dan merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun. Karena itu, ia didakwa melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tentang Tindak Pidana Korupsi.