Survei Toleransi, 80,8 Persen Perempuan Tak Mau Jadi Radikal
Reporter
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Editor
Juli Hantoro
Senin, 29 Januari 2018 15:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wahid Foundation meluncurkan survei nasional soal tren toleransi sosial keagamaan di kalangan perempuan muslim di Indonesia. Hasilnya, sebanyak 80,8 persen perempuan tidak bersedia menjadi radikal dan sebanyak 80,7 persen perempuan Indonesia mendukung hak kebebasan dalam menjalankan ajaran agama dan keyakinan.
"Perempuan lebih tidak bersedia radikal dibanding laki-laki," kata Direktur Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman atau Yenny Wahid, di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Senin, 29 Januari 2018. Angka ini lebih tinggi ketimbang laki-laki yang berada pada angka 76,7 persen.
Baca juga: Jusuf Kalla: Indonesia Bisa Jadi Contoh Negara Toleran di Dunia
Wahid Foundation melakukan survei ini bersama dengan United Nation Women dan Lembaga Survei Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2017. Survei ini melibatkan 1.500 responden laki-laki dan perempuan dengan margin of error 2,6 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Selain itu, survei ini juga mencatat sebanyak 55 persen perempuan yang intoleran. Angka ini lebih sedikit dibanding laki-laki sebesar 59,2 persen. "Perempuan intoleran lebih sedikit dibandingkan laki-laki," ujar Yenny. Sementara itu, sebanyak 53 persen perempuan juga memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibandingkan laki-laki sebesar 60,3 persen.
Menurut Yenny, angka ini penting karena menunjukkan kelompok yang tidak disukai berkaitan dengan level intoleransi di sebuah negara atau komunitas. "Makin banyak yang tidak disukai, makin menunjukkan intoleransi tinggi," ujarnya.
Baca juga: 150 Pemuda dari 21 Negara Belajar Toleransi di Jombang
Menurut Yenny, hasil survei memaparkan situasi toleransi sosial keagamaan di kalangan perempuan muslim. Angka ini, kata dia, menunjukkan peran perempuan muslim dalam membangun toleransi dan perdamaian.
Perwakilan United Nation Women Representative, Sabine Machl, juga menilai hasil survei ini menunjukkan peran penting dalam penyebaran nilai toleransi dalam komunitas. "Ini sangat penting memperlihatkan perempuan untuk menempati posisi dalam kepemimpinan. Ini mengundang kita melihat apa bisa dilakukan perempuan sebagai agen perubahan," kata Sabine.