TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Perwakilan Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan organisasi lainnya di Jenewa, Swiss, mengungkap pentingnya literasi keagamaan lintas budaya di sela-sela Sidang Dewan HAM PBB ke-55.
Duta Besar Achsanul Habib mengangkat isu tersebut untuk mengatasi segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama yang menjadi tantangan dunia saat ini.
“Pada saat ini, peningkatan literasi keagamaan lintas budaya dan pendidikan hak asasi manusia memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang menolak segala bentuk intoleransi dan prasangka beragama,” kata Habib melalui keterangan resmi, Jumat, 15 Maret 2024.
Tema yang diangkat dalam acara itu adalah “The Role of Cross-Cultural Religious Literacy and Human Rights Education in Combating Intolerance, Negative Stereotyping, and Stigmatizazion of Persons Based on Religion and Belief” (Peran Literasi Agama Lintas Budaya dan Pendidikan HAM dalam Memerangi Intoleransi, Stereotip Negatif, dan Stigmatisasi Terhadap Individu Berdasarkan Agama dan Keyakinan). Adapun tema ini sejalan dengan Resolusi Dewan HAM PBB 16/18.
Menurut Habib, tema yang diangkat sangat relevan dengan peningkatan kasus pelanggaran HAM terhadap individu berdasarkan agama atau kepercayaan di seluruh dunia.
“Selain intoleransi, stereotip dan stigmatisasi negatif, anggota kelompok agama dan penganut agama di seluruh dunia juga menghadapi kebencian, diskriminasi, dan kekerasan setiap hari,” tuturnya.
Dia pun menegaskan literasi keagamaan lintas budaya telah menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri Indonesia. Hal tersebut dipromosikan melalui dialog antaragama yang telah terjalin secara bilateral dengan 34 negara mitra.
Pemerintah Indonesia, kata Habib, telah memprakarsai Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) pada Agustus 2023 untuk mengarusutamakan komitmen global dalam melaksanakan resolusi Dewan HAM PBB 16/18.
Kemudian pada November 2023, Kementerian Hukum dan HAM RI bersama Institut Leimena juga telah melaksanakan Konferensi Internasional tentang Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) untuk mendorong masyarakat yang damai dan inklusif.
“Kami senang Institut Leimena sebagai promotor utama literasi keagamaan lintas budaya di Indonesia dapat bergabung sebagai salah satu pendukung acara penting ini,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan LKLB merupakan contoh pendekatan pendidikan yang sesuai dengan tujuan resolusi Dewan HAM PBB 16/18, yakni melarang adanya diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan.
Adapun program pelatihan LKLB yang dilakukan Institut Leimena bersama 25 lembaga mitra ini telah melatih lebih dari 7 ribu pendidik di 34 provinsi di Indonesia dalam waktu kurang dari 2,5 tahun.
“Program LKLB semakin mendapatkan perhatian dunia internasional di tengah semakin berkembangnya masalah ujaran kebencian, Islamofobia, dan lain-lain.”
Pilihan Editor: Stanford University Bantah Akan Bangun Kampus di IKN, Hanya Kerja Sama Proyek Penelitian