TEMPO.CO, Surakarta - Pemerintah Kota Surakarta berencana membuat pemetaan kawasan pusat industri yang menjadi penghasil limbah yang ada di kota tersebut. Pemetaan tersebut dibutuhkan untuk merancang pembangunan instalasi pengolah limbah komunal.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Surakarta Widdi Srihanto mengatakan persoalan limbah di kota itu menjadi masalah serius yang harus segera ditangani. "Persoalan limbah ini juga menjadi faktor utama penyebab kegagalan Surakarta dalam meraih adipura," katanya, Jum'at 26 November 2015.
Menurut Widdi, tingkat kesadaran pelaku industri kecil dalam mengelola limbahnya masih sangat kecil. Selain itu, indsutri kecil juga memiliki keterbatasan kemampuan finansial untuk membangun pengolah limbah. "Pemerintah harus ikut membantu dengan membuatkan instalasi pengolah limbah komunal," kata Widdi.
Salah satunya, Surakarta memiliki beberapa kawasan yang menjadi pusat industri batik. "Paling banyak berada di kawasan Pasar Kliwon, Kauman dan Laweyan," katanya. Menurut Widdi, hampir semua perajin di tiga kawasan itu memilih membuang limbahnya tanpa diolah terlebih dulu.
Pihaknya mencatat hanya ada satu perajin batik di Kauman yang telah memiliki pengolah limbah. Sedangkan di Laweyan sebenarnya sudah memiliki instalasi pengolah limbah komunal. "Tapi kapasitasnya terbatas sehingga tidak semua perajin bisa memanfaatkannya," kata Widdi.
Sedangkan kebanyakan perajin di kawasan Pasar Kliwon diduga juga memilih langsung membuang limbahnya ke sungai. Hal itu terlihat dari warna air di Sungai Jenes yang sangat pekat lantaran bercampur dengan pewarna batik. "Kondisi semacam ini tidak bisa dibiarkan terus menerus," katanya.
Sekretaris Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, Gunawan Muhammad Nizar mengatakan bahwa instalasi pengolah limbah komunal di kampungnya masih berfungsi baik. Namun, instalasi itu tidak mampu menampung semua limbah yang dihasilkan. "Karena memang jumlah perajinnya semakin berkembang," katanya.
Gunawan sendiri akhirnya memilih membangun instalasi pengolah limbah di perusahaannya. Sebenarnya, lanjut dia, beaya yang dibutuhkan tidak terlalu mahal. "Masih di bawah Rp 30 juta," katanya.
Hanya saja, instalasi itu membutuhkan tempat yang relatif luas. Padahal, kebanyakan sentra industri batik berada di permukiman padat, termasuk di Laweyan, Kauman dan Pasar Kliwon. "Memang solusinya adalah instalasi yang dipakai bersama-sama atau komunal," kata dia.
AHMAD RAFIQ