TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md, mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan aturan khusus untuk seluruh pelaksanaan pemilu di Papua. Menurut Mahfud, pemilu di Papua, baik legislatif maupun kepala daerah, tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya di Indonesia.
“Saya usulkan, mumpung pemerintah sedang membicarakan tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah,” kata Mahfud di ruang kerjanya, Kamis 22 Desember 2011.
Mahfud mengusulkan hal itu karena fenomena yang terjadi saat ini adalah setiap diadakannya pemilu kepala daerah di Papua pasti berperkara di MK. Setelah itu, pihak yang kalah akan membuat gerakan perlawanan.
Hampir setiap perkara yang diputuskan oleh MK, kata Mahfud, pasti menimbulkan reaksi anarkis di Papua. “Yang terakhir membakar rumah gubernur itu,” kata mantan Menteri Kehakiman era Gus Dur tersebut.
Reaksi yang mengkhawatirkan, menurut Mahfud, ketika pihak yang kalah selalu menyatakan akan keluar dari NKRI karena dinilai tidak adil “Kalau begitu, untuk apa berperkara,” ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, hal itu terjadi karena masyarakat Papua tidak siap dengan sistem yang diterapkan secara nasional. Pemilu di Papua juga sebaiknya dilaksanakan sesuai dengan adat dan budaya mereka. Sistem pemilu yang dilakukan di Papua saat ini, Mahfud melanjutkan, sering kali dilanggar karena dinilai tidak cocok dengan budaya mereka.
Pemilu khusus itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan Papua sebagai bagian dari NKRI. MK, kata Mahfud, pernah mengesahkan pelaksanaan pemilu khusus untuk pemilu legislatif, di mana pemilu itu dilakukan dengan tidak langsung, tidak umum, tidak bebas, dan tidak rahasia. “Jadi kepala suku yang mewakili sukunya membagi suara itu,” ujarnya.
Mahfud juga menegaskan bahwa pemilihan seperti itu tetap sah, karena sesuai dengan adat dan budaya setempat. Jika masyarakatnya diberikan hak untuk memilih sendiri, kata Mahfud, hanya akan menimbulkan konflik di antara mereka sendiri. “Karena kalau dipaksakan sistem formal yang dianut undang-undang, di sana malah kacau-balau,” ujarnya.
Pada Selasa, 20 Desember 2011 lalu, rumah Gubernur Papua Barat, Abraham Octavinus Atururi, dibakar oleh sejumlah orang. Pembakaran itu dilakukan setelah warga merasa tidak puas dengan kekalahan pasangan yang mereka dukung.
DIMAS SIREGAR