Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (kanan) saat mengikuti Rapat Paripurna Ke-15 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, 18 Desember 2015. Setelah resmi mudur dari jabatanya, Setya Novanto ikuti rapat paripurna sebagai anggota DPR. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Setya Novanto terjungkal dari kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Ia memilih mengundurkan diri pada 16 Desember 2015 di tengah sidang putusan Mahkamah Dewan Kehormatan yang akan menentukan nasib jabatannya terkait pelanggaran etik dalam dugaan percaloan saham PT Freeport Indonesia. Dalam kasus ini, setya dituding mencatut nama Presiden Joko Widodo.
Sebenarnya, dalam sidang putusannya seluruh anggota Mahkamah sepakat Setya melakukan pelanggaran etik. Sedikitnya 9 anggota Mahkamah meminta Setya disanksi sedang, yaitu pemecatan Setya dari jabatan sebagai Ketua DPR. Enam anggota lain meminta Setya dipecat dari Ketua dan diberhentikan sebagai anggota Dewan.
Namun, sebelum Ketua Mahkamah Surahman Hidayat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, menjatuhkan vonis, Setya lebih dulu memilih mundur. "Untuk menjaga harkat dan martabat, serta kehormatan lembaga DPR RI serta demi menciptakan ketenangan masyarakat, dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai Ketua DPR," kata Setya dalam petikan suratnya.
Kasus etik yang menjerat Setya bukan hanya skandal percaloan saham. Sebelumnya, Setya dan sejumlah pimpinan DPR seperti Fadli Zon menghadiri kampanye kandidat presiden Amerika Serikat dari Partai Republik Donald Trump pada 3 September 2015. Pertemuan itu tidak termasuk dalam agenda resmi mereka usai menghadiri Forum Ketua parlemen sedunia di New York.
Setelah bertemu Trump, Setya dan Fadli diajak mengikuti pengambilan sumpah kesetiaan Trump untuk Republik di Trump Tower. Trump, yang juga pemilik yayasan Miss Universe, itu tak lupa memperkenalkan Fadli dan Setya ke publik sebagai teman dekat. "Yes," Setya menjawab. Trump bertanya lagi: "Apakah orang di Indonesia menyukai saya?" Setya menjawab, "Ya, sangat. Terima kasih."
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyayangkan sikap Setya dan delegasi DPR datang ke acara Trump. "Beliau datang ke sana diperkenalkan sebagai Ketua DPR. Itu seolah-olah ada intervensi ke negara lain terkait dengan politik dalam negerinya," kata dia saat dihubungi.
Kasus pertemuan dengan Trump bergulir ke sidang Mahkamah Kehormatan. Ketua Mahkamah, Surahman Hidayat, mengatakan forum MKD memutuskan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya dan Fadli Zon, terkait pertemuan dengan Trump sebagai bentuk pelanggaran ringan dengan sanksi berupa teguran. Setya boleh lolos dari kasus Trump, tapi ia tidak berdaya di skandal Freeport.