EKSKLUSIF: Pengakuan Mengejutkan Pengonsep Surat Edaran GIDI
Editor
Bobby Chandra
Rabu, 22 Juli 2015 08:53 WIB
Keterangan Nurmin sejalan dengan kronologi yang disampaikan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai. Sehari setelah kejadian, atau Sabtu, 18 Juli 2015, Komnas HAM mengeluarkan hasil analisis sementara kerusuhan di Karubuga. Dalam salah satu temuannya, Pigai menegaskan, Komnas menduga kerusuhan di Tolikara dipicu oleh surat edaran GIDI Tolikara, yang diteken Nayus dan Marthen.
Pigai menyayangkan surat itu tidak direspons serius oleh pemerintah daerah Tolikara. Padahal, kata dia, jemaat GIDI tidak berhak melarang umat agama lain beribadah. "Pemerintah tidak mengantisipasi surat edaran itu. Mereka tidak melakukan upaya pencegahaan untuk menjaga ketertiban dan keamanan," kata Pigai ketika dihubungi Putri Adityowati dari Tempo. Karena protes itu tidak mendapat respons dari aparat di lokasi kejadian, jemaat GIDI marah dan mengamuk.
Kondisi semakin ricuh karena sejumlah kios, rumah, dan musala, dibakar. Menurut Pigai, mereka protes karena sudah memberi larangan, tapi polisi balik menembak warga. "Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah tempat ibadah. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai. "Tapi yang terpenting kerusuhan ini bukan permusuhan antara Gidi dengan umat Islam."
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengakui polisi yang menjaga pelaksanaan salat Id di lapangan Koramil, sempat mengeluarkan tembakan peringatan. Namun, massa mengamuk hingga menyebabkan puluhan kios dan musala di sekitar markas Koramil habis terbakar. Kepolisian telah mengantongi calon tersangka. Sudah ada, tapi kami masih melengkapi alat bukti," kata Badrodin di kantornya, Senin, 20 Juli 2015.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Ronny Mandang, mengatakan 10 penduduk asli Tolikara terluka dan 1 meninggal dalam kerusuhan itu. Ia mengklaim semuanya jemaat GIDI. Menurut Ronny, mereka tertembak saat mendekati lokasi salat Ied untuk berkoordinasi dengan warga muslim di lapangan Koramil Tolikara.
Berita Terbaru
EKSKLUSIF: Reaksi Marthen Jingga Lihat Efek Surat Digi
Begini Penuturan Shintya Ihwal Para Penculiknya
EKSKLUSIF: Marthen Jingga Revisi Surat Edaran, Ini Isinya
Kementerian Sosial mencatat 153 jiwa dari 38 kepala keluarga menjadi korban akibat penyerangan ini. Selain di Wamena, sebagian warga mengungsi di belakang kantor Koramil dan Polres Tolikara. Hingga kini, berbagai pihak telah mengirimkan bantuan, berupa makanan, pakaian, dan uang tunai. Kapolda Papua memberikan Rp 30 juta, Kapolri dan Bupati Tolikara menyumbang masing-masing Rp 100 juta.
Sejumlah relawan dan lembaga nirlaba turut menyalurkan bantuan. Ketua Bulan Sabit Merah Indonesia cabang Jayawijaya Khairuddin Hamdani mengatakan pihaknya akan menengok pengungsi di Wamena, lokasi pengungsian korban penyerangan diKarubaga. "Salah satu petugas BSMI ada yang ikut salat Idul Fitri di sana. Besok siang (Rabu ini) kami akan ke Karubaga menengok lokasi kejadian," kata Hamdani kepada Tempo, Selasa siang, 21 Juli 2015.
Hamdani mengatakan ratusan warga Karubaga mengungsi di sejumlah titik. Senin malam, tim BSMI menyalurkan bantuan kepada 28 kepala keluarga di enam titik. BSMI mencatat terdapat 66 kepala keluarga yang mengungsi di Wamena, Papua. Namun, data itu belum mencakup jumlah pengungsi secara keseluruhan. "Pengungsi menyebar di sejumlah titik. Kami belum bisa mendata seluruhnya," katanya.
Hamdani memastikan bahwa tempat ibadah tang terbakar adalah masjid, bukan musala seperti yang diberitakan sebelumnya. Meski bangunannya kecil, masjid itu kerap dipakai salat Jumat, Idul Adha, dan Idul Fitri. Klaim ini ia buktikan dengan papan nama Masjid Baitul Muttaqin yang masih tersisa akibat terbakar. "Beberapa tahun terakhir tak pernah ada masalah saat salat Id. Hanya, dari awal pembangunan masjid memang tidak diizinkan pemasangan kubah, dan papan nama masjid."
MARIA RITA HASUGIAN