TEMPO.CO, Surabaya - Sebanyak 165 pedagang kaki lima yang menggantungkan hidupnya di kawasan Dolly terancam kredit macet menyusul penutupan lokalisasi pada 19 Juni 2014. Koordinator PKL Dolly, Abeng, mengatakan penutupan Dolly ibarat malapetaka bagi pedagang kecil. Alasannya, pedagang kecil cenderung menjual barang ke pekerja seks dengan sistem kredit. "Jika Dolly jadi ditutup, kami terancam (kredit macet) jika PSK tidak mau membayar kredit dagangan PKL," ujar Abeng kepada Tempo, Kamis, 29 Mei 2014.
Menurut dia, ada potensi pendapatan PKL yang hilang begitu Dolly resmi ditutup. Para pekerja seks yang sudah menerima kompensasi, Abeng menegaskan, tidak ada jaminan segera melunasi utangnya. Dia sendiri berdagang aksesori, seperti jam tangan, kacamata, baju, sendal, dan kalung, yang segmen konsumennya para pekerja seks.
Menurut dia, 165 PKL ini berpenghasilan pas-pasan dan sangat menggantungkan pada bisnis di Dolly. "Kalau enggak dikreditkan, susah lakunya. Saya menyesuaikan keuangan PSK juga. Uang kompensasi itu tidak bisa diharapkan. Mungkin hanya 0,01 persen saja yang dibayarkan ke PKL. Saya bicara begini karena berkaca pada PKL di lokalisasi yang ditutup sebelumnya, seperti Dupak, Bangunsari, dan Klakahrejo," tuturnya.
Dia dan anggota PKL Dolly lainnya berharap Pemerintah Kota Surabaya segera turun tangan mendata dan berdialog langsung dengan para PKL yang terdampak penutupan Dolly. Secara pribadi, Abeng tidak menolak penutupan Dolly, asalkan ada konsep konkret bagi PKL setelah penutupan. Dia sendiri ingin mencari rezeki halal, tidak bergantung pada perputaran ekonomi di lingkungan esek-esek. "Saya mengapresiasi langkah Pemkot Surabaya. Jujur, saya tidak mau kerja di tempat seperti ini (Dolly). Saya pengin kerja di tempat yang lebih baik, positif secara umum. Tapi pemkot belum pernah duduk bersama membahas semua ini," ujarnya.
Konsep menyulap kawasan Dolly menjadi sentra PKL, pusat kerajinan tangan, dan perdagangan baru, menurut Abeng, belum disosialisasikan langsung ke warga terdampak. Padahal, mayoritas 165 PKL ini merupakan penduduk sekitar Dolly. Abeng bermukim di lingkungan RW 12, salah satu RW yang terdampak penutupan Dolly.
Sebelum isu penutupan berembus kencang, Abeng mengaku penghasilannya per hari Rp 350-400 ribu. Namun, sejak dua bulan terakhir, penghasilannya kembang-kempis lantaran banyak PSK tidak mendapatkan tamu.
Kepala Badan Perencana Pembangunan Kota Surabaya Agus Imam Sonhaji mengatakan sudah menjalin kerja sama dengan tiga perusahaan garmen untuk mempekerjakan warga terdampak penutupan Dolly dengan skema inti dalam plasma. Perusahaan, kata Agus, bisa menyerahkan sebagian pekerjaan ke warga tanpa harus datang ke pabrik. "Tapi belum direspons tiga perusahaan ini," ujarnya.
Sesuai dengan rencana tata ruang kota, pihaknya bakal menjadikan lokalisasi Dolly sebagai kawasan sentra PKL dan perdagangan yang dikelola warga setempat. Untuk segmen bisnisnya, Agus menyesuaikan keinginan warga terdampak. "Kalau ngomong apakah kami sudah turun, itu ranah Ibu Wali Kota (Tri Rismaharini)." (Baca juga : Dolly Hendak Ditutup, PSK Bermigrasi ke Malang)
DIANANTA P. SUMEDI
Berita terpopuler:
Cokelat Cadbury Mengandung Babi?
Dirut Pelni yang Dipecat Dahlan Ternyata Raup Laba
Selain Cadbury Berbabi, Waspadai Biskuit Haram