Akil Mochtar berjalan keluar usai menjalani pemeriksaan narkoba oleh BNN di Gedung KPK, Jakarta, (6/10). Setelah di tetapkan menjadi tersangka, Akil Mochtar menjali pemeriksaan BNN karena ditemukannya ganja dan ekstasi di ruang kerja MK. TEMPO/Dasril Roszandi
"Sulit bagi kami memberikan persetujuan karena perpu ini jelas pelanggaran konstitusi," kata Yani saat dihubungi, Jumat, 18 Oktober 2013. Yani mengatakan dirinya menggunakan bahasa tidak menyetujui sebagai sikap penolakan dari partainya terhadap regulasi itu. "Sesuai bahasa konstitusinya, tidak setuju. Bahasa umumnya, menolak."
Menurut dia, format perpu ihwal MK tidak sesuai dengan alasan dikeluarkannya regulasi tersebut. Sesuai dengan undang-undang, perpu dikeluarkan jika terdapat kegentingan dalam pelaksanaan pemerintahan. Yani mengaku tidak melihat adanya kegentingan tersebut di masyarakat setelah Akil Mochtar, Ketua MK (kini non-aktif), ditangkap oleh KPK. Yani mengatakan MK mampu membuat keputusan persidangan dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat setelah kasus penangkapan Akil adalah bukti dugaan "genting" tidak terjadi.
Yani menilai Presiden sebagai lembaga eksekutif telah mengintervensi lembaga DPR dan MA. Dia menunjukkan perubahan aturan soal pengangkatan hakim konstitusi yang seharusnya berasal dari DPR dan MA. "Ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," katanya. Menurut Yani, Presiden tidak diberi mandat UUD untuk merubah aturan rekrutmen hakim konstitusi.
Dalam beberapa pasal, pemerintah memasukkan peran dan wewenang Komisi Yudisial dalam proses perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Para calom hakim MK yang akan diajukan Presiden, MA, atau DPR nantinya harus menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan oleh panel ahli yang dibentuk KY. "Sesuai UUD, KY tidak memiliki wewenang soal rekrutmen hakim MK." katanya.